Stop Buruh Anak

Stop Buruh Anak

Kamis, Agustus 18, 2011

NIAS: MENCARI KEARIFAN LOKAL UNTUK PENERAPAN RESTORASI JUSTICE

RELEASE

MENCARI KEARIFAN LOKAL UNTUK PENERAPAN RESTORASI JUSTICE
(Refleksi perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum di Pulau Nias)

Gunungsitoli (16/8/2011), bertempat di aula pertemuan gedung badan pemberdayaan dan


warisan nias (BPWN), PKPA mengumpulkan sejumlah tokoh lintas sektor untuk melakukan focus group discussion (FGD). Pertemuan yang bertujuan melakukan refleksi terhadap perjalanan PKPA dalam melindungi dan advokasi hak-hak anak di Nias khususnya anak yang berhadap dengan hukum (ABH) dihadiri oleh tokoh budaya dari Lembaga Budaya Nias, BPWN, Kepolisian Resort Nias, tokoh agama dari PELMAS-BNKP, Insan Pers yang tergabung dalam Jurnalis Peduli Anak-Nias, LSM dan Pemerintah dari instansi P2TP2A Kabupaten Nias. FGD yang berlangsung cukup hangat dimoderatori oleh Misran Lubis (Direktur Eksternal PKPA).

Pada paparan pengantarnya, moderator menyampaikan beberapa perkembangan terbaru seputar ABH yang akan menjadi topik bahasan dalam FGD. Beberapa poin penting yang sampaikan moderator adalah;
• Sepanjang tahun 2010 PKPA Nias mencatat telah mendampingi 32 kasus ABH dan menurut data laporan dari Kepolisian Resort Nias dan Nias Selatan sepanjang 5 tahun terakhir 2006 -2010 tercatat 162 anak yang ajukan ke proses peradilan. Tindak pidana yang disangkakan kepada anak-anak tersebut sebagain besar adalah kasus pencurian, penganiayaan, judi dan kecelakaan lalu lintas. Catatan kasus tersebut belum termasuk kasus-kasus anak yang prosesnya tidak sampai dilaporkan kepada kepolisian karena adanya proses penyelesaian di masyarakat.
• Terkait dengan sistem peradilan anak telah ada ketentuan baru mengenai batasan usia anak yang dapat mintai pertanggungjawaban secara hukum. Ketentuan baru tersebut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.I/PUU-VIII/2010, dalam putusannya MK mengabulkan permohonan KPAI dan PKPA bahwa usia minimum anak boleh dimintai pertanggungjawaban secara hukum adalah 12 tahun, putusan ini membatalkan frase 8 tahun dalam pasal 1 angka 1, pasal 4 ayar 1 dan pasal 5 ayat 1UU No.3/1997 tentang Pengadilan Anak.
• Dalam memperbaiki kehidupan anak-anak yang berhadapan dengan hukum di pulau Nias diperlukan adanya komitmen bersama untuk menghindarkan anak-anak hukuman penjara, karena hukum penjara hanya menimbulkan dampak buruk yang berkepanjangan pada anak-anak. Landasan yuridis untuk memperbaiki cara-cara penangan ABH ini telah ada, salah satunya adalah Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.


FGD yang berlangsung sekitar 2 jam menghasilkan beberapa catatan penting untuk dapat ditindak lanjuti bersama dimasa depan, terutama untuk mendorong upaya restorasi justice bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu:
1. Kompol HR.Situmorang (Kabag. Ops. Polres Nias), kepolisian sebenarnya memiliki kewenangan Diskresi untuk menghindarkan anak-anak yang berhadapan dengan hukum dari proses peradilan formal. Kewenangan disekresi tersebut dapat ditindaklanjuti dengan upaya restorasi justice. Dengan demikian maka pola pembinaan anak-anak yang berhadapan dengan hukum bisa dikedepankan, namun hal ini diperlukan kesiapan institusi lain agar pembinaan anak dapat terselenggara sesuai amanat undang-undang perlindungan anak dan surat keputusan bersama.
2. Drs.Yasato Harefa (Budayawan), kita perlu mendorong Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Lembaga Keagamaan dan lembaga adat untuk bersama-sama terlibat melalui mekanisme yang formal dan legal dalam menangani “anak nakal”. Dalam adat masyarakat nias ada istilah Uga Uta atau didaerah Nias Selatan di kenal istilah Lakhau. Uga uta adalah sebuah mekanisme adat untuk menyelesaikan masalah-masalah dimasyarakat termasuk masalah dalam rumah tangga dengan cara membayar denda setelah dilakukan siding adat. Jadi hukum adat dapat juga dijadikan pilihan dalam menyelesaikan kasus-kasus anak, namun harus didukung dengan ketentuan hukum lain agar tidak ada permasalahan dimasyarakat. Pernyataan ini didukung oleh tokoh adat lainnya yaitu Bapak Melkhior Duha dan Ibu Nurdelima Marunduri dari Lembaga Budaya Nias. Masyarakat harus diberikan pemahaman agar penanganan anak dapat berjalan. Yang lebih penting lagi adalah adanya upaya-upaya preventif agar kasus-kasus anak tidak semakin banyak.
3. Ros Harefa (Kepala P2TP2A Kab.Nias), perlu adanya komitmen seluruh pemerintahan yang ada di pulau Nias, agar penanganan dapat berjalan sinergi karena kasus-kasus anak ini dating dari berbagai wilayah di pulau Nias.
4. Yanuarman Gulo (MNC TV dan Forum Jurnalis Peduli Anak-Nias), media harus ikut mengawal proses hukum anak agar berjalan sesuai ketentuan, namun yang lebih penting juga pihak media perlu memberikan edukasi kepada public tentang perlindungan anak. sebenarnya ada banyak masalah anak-anak lainnya yang belum terungkap dan belum tertangani seperti issu penculikan anak, anak pemulung dan kasus-kasus kekerasan anak. peryataan yang sama juga disampaikan oleh Insan pers lainnya yaitu One Man Halawa dari Media TVONE juga Aktivis FORNIHA.

Diakhir pertemuan ini moderator kembali menegaskan bahwa upaya mensinergikan ketentuan hukum formil dengan kearifan lokal harus menjadi agenda penting di pulau Nias dan mendorong para pejabat pemangku kepentingan baik eksekutif, legislative maupun aparat penegak hukum untuk sama-sama ambil bagian dalam mencari solusi terbaik bagi anak dengan prisnip keadilan, non-diskriminasi, kepentingan terbaik anak dan partisipasi komunias dan anak. (PKPA Nias Team).

Peserta FGD lainnya:
• Drs. Yasato Harefa (budayawan nias)
• One Man Halawa (TVONE/FORNIHA)
• Hendrik Yanto (Forniha)
• Nurdelima Marunduri (LBN)
• Melkhior Duha (BPWN)
• Elisati Zendrato (Pelmas BNKP)
• Kompol HR.Situmorang (Kabag. Ops. Polres Nias)
• Yanuarman Gulo (MNC TV dan Forum Jurnalis Peduli Anak-Nias)
• Ros Okti Harefa (Ketua P2TP2A Kab. Nias)
• Keumala Dewi (PKPA)
• Chairidani P. SH (PKPA)