Stop Buruh Anak

Stop Buruh Anak

Selasa, Mei 17, 2011

Workshop for Elimination of Child Labor in South Nias

PRESS RELEASE
PKPA and Social Department of South Nias are making the workshop Elimination of Child Labor


With the theme “ For Free Child Labor of South Nias”, PKPA are collaboration with Social Department of South Nias and supported by Kindernothilfe are hold the workshop to evaluate the local regulation and program development of elimination of the worst form of child labor. The workshop was hold for 2 days from 10 – 11 Mei 2011, at Rai Center, Teluk Dlama, South Nias. The facilitator of the workshop is Misran Lubis (external Director of PKPA Medan).
The regent of South Nias that represented by the functionary of the Head of Social Department, Mr. Tandramböwö Lase are officially open the workshop. In his speech, the functionary of the head of Social Department of Souht Nias was say that the child problem are very complex, not only the laboring problem, there are many problem that have not solved properly. Such as trafficking for boys and girls, mistreatment and abandonment. Further, Mr. Tandrambowo Lase say his thankful for PKPA because of their continuity comitment to give attention for children in South Nias.
The workshop was attended by 30 participants who become the member of Action commitee of ellimination of the worst form of child labor in South Nias, they are representing many organization such as goverment, religious organization, community organization and local university. For two days, they are discuss and evaluate the situation of child labor in South Nias, the participants also making the recomendations to be followed up by the government and the community in South Nias. There are :
- Action Commitee of South Nias to Elliminate the worst form of child labor already formed through decission letter from the regent of South Nias since Mei 2010, the commitee should make the program and budget in each department to handle the child problem in South Nias.
- The local government of South Nias have to make regulation to state the kind of worst form of child labor that forbidden for children in South Nias and make socialization to the community.
- Providing the services infrastructure for the children that become the victim of violence, sexual abuse and abandonment.
At the end of the workshop, all the participants declare their support and commitment to guide, so the recommendation that will be conveyed to the leaders in each department, will be realized. (Mis/PKPA 11-Mei-2011).

Supported By:

Kamis, Mei 12, 2011

PEMETAAN SITUASI KHUSUS ANAK NIAS

PEMETAAN SITUASI ANAK
YANG MEMBUTUHKAN PERLINDUNGAN KHUSUS DI PULAU NIAS
TAHUN 2010

1.1 Pendahuluan
Anak adalah seorang manusia yang sedang tumbuh dan berkembang mencapai kedewasaan sampai berumur 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan. Anak bukan juga seorang dewasa yang berukuran kecil karena itu anak mempunyai sifat-sifat khusus dalam setiap tahap perkembangannya. Secara filosofis, anak adalah amanah Tuhan Yang Maha Esa, dan secara nasional anak adalah keberlanjutan bangsa ini. Karena itu semua upaya untuk keberlanjutan bangsa harus senantiasa mengedepankan atau mengarusutamakan kepentingan anak. (H TB. Rachmat Santika/ dokter Spesialis Anak dan Tim Ahli KPAI).
Pulau Nias pasca bencana alam tsunami 26 Desember 2004 dan gempa bumi 28 Maret 2005 mulai mendapatkan perhatian luas dari berbagai lembaga nasional maupun internasional untuk misi kemanusiaan. Misi kemanusiaan yang dilakukan oleh berbagai lembaga kemanusiaan untuk tujuan tanggap darurat dan pemulihan Nias menyentuh berbagai sektor infrastruktur dan sumber daya manusia. Salah satu sektor penanganan yang menjadi perhatian lembaga adalah situasi anak-anak dipengungsian dan anak-anak nias secara umum. Anak menjadi kelompok yang paling rentan terhadap berbagai kondisi terburuk dalam situasi bencana. Munculnya kasus trafiking anak dengan modus untuk disekolahkan, diasuh, dipekerjakan untuk kehidupan yang lebih baik dan modus rekruitmen lainnya membuktikan bahwa betapa lemahnya perlindungan anak. Menurut catatkan kasus dugaan trafiking yang berhasil diungkap pasca gempa bumi 28 Maret sampai dengan Juli 2006 tercatat 66 kasus anak diduga menjadi korban trafiking yang berhasil diselamatkan.
Terungkapnya kasus trafiking anak dan kemudian kasus-kasus anak lainnya seperti korban kekerasan di sektor domestik dan publik, korban perkosaan dan anak-anak yang disangka sebagai palaku tindak pidana telah membuka wacana aktor kemanusiaan di Nias untuk melihat persoalan anak secara totalitas. Dampak langsung kejadian bencana alam terhadap anak ternyata hanya sebagian kecil dari kompleksitas masalah anak Nias.
Penelitian dan berbagai observasi terdahulu yang pernah dilakukan oleh sejumlah lembaga pemerhati anak seperti PKPA, Pusaka Indonesia, WVI-Nias dan lembaga lainnya terkait beberapa sektor situasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus menemukan adanya fakta situasi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, kekerasan terhadap anak, anak yang berhadapan dengan hukum dan masalah kesehatan anak terutama kasus-kasus gizi buruk. Penelitian-penelitian tersebut masih dilakukan secara sektoral berdasarkan tema tertentu dan kemungkinan masih banyak fenomena dan fakta-fakta anak yang membutuhkan perlindungan khusus belum terdata dan belum terungkap. Untuk itu PKPA atas dukungan pendanaan dari Kindernothilfe melakukan pemetaan situasi anak nias yang membutuhkan perlindungan khusus dipenghujung tahun 2010 selama 2 bulan yaitu bulan Oktober-November.
Penelitian ini diharapkan dapat memetakan gambaran yang lebih komprehensif terhadap semua tema issu anak yang membutuhkan perlindungan khusus atau setidaknya dapat memperluas informasi tentang fakta situasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus di pulau Nias. Dalam pengertian lain penelitian ini akan menjadi pelengkap informasi, data, analisis dan rekomendasi-rekomendasi dari penelitian terdahulu tentang issu anak. Metode Pengumpulan Data dalam pemetaan ini mengarah pada eksplorasi atau pendalaman secara kualitatif akan fenomena anak di Pulau Nias. Karena sifatnya eksplorasi maka teknis pengumpulan data yang dipilih adalah; Study Dokumentasi, Pengamatan dan Wawancara serta didukung dengan teknis Diskusi Terfokus (FGD) melibatkan sejumlah stakeholders yang sebelumnya menjadi informan pengumpulan data sekunder (study dokumentasi) yaitu Polres Nias, P2TP2A Kabupaten Nias, Badan KB dan PP Nias Selatan, Dinas Sosial Nias Selatan, Dinas Sosial, Kependudukan dan Naker Kabupaten Nias, Dinas Sosial Kota Gunung Sitoli, Dinas Sosial Kabupaten Nias Barat, Dinas Sosial Kabupaten Nias Utara, Yayasan Holiana’a, BPWN Kabupaten Nias, RRI Gunung Sitoli, WVI – Nias, Kantor Pengadilan Agama Gunung Sitoli, Organisasi perempuan HKBP, Pesada Nias dan Pimpinan Nasyiyatul Aysiyah Kab. Nias. Disisi lain FGD juga dilakukan terhadap kelompok anak.

1.2 Populasi Anak Nias
Pulau Nias merupakan salah satu pulau yang berada di perairan pantai barat Sumatera Utara, tepatnya berada di samudera hindia. Pulau Nias juga menjadi kebanggaan Indonesia dengan ras, seni dan budayanya yang khas sehingga menjadi salah satu daerah tujuan wisata terutama penggemar surfing dan para peneliti sejarah. Secara administratif, pulau Nias hanya mencakup satu kabupaten saja yaitu kabupaten Nias, namun dengan adanya pemekaran wilayah pada tahun 2003 dan 2008, Pulau Nias sekarang ini telah bagi menjadi lima daerah otonom dengan bentuk pemerintahan empat kabupaten dan satu kotamadya.
Tingkat pertumbuhan penduduk di pulau ini dapat dikatakan sangat tinggi dan mungkin bisa diumpamakan sama dengan tingkat pertumbuhan populasi negara Cina. Namun banyaknya populasi/etnis Nias tidak serta merta menyebabkan tingkat kepadatan penduduk di wilayah ini juga tinggi. Populasinya justru lebih banyak tersebar dan menetap di daerah di luar pulau Nias seperti Sibolga, Medan, Pekanbaru, Padang dan daerah lainnya. Pada umumnya mereka bermigrasi ke daerah lain disebabkan faktor pendorong dari dalam yaitu antara lain rendahnya tingkat pendapatan, sangat sempitnya lapangan pekerjaan, minimnya sarana dan prasarana umum seperti jalan raya, fasilitas pendidikan, dan lain sebagainya
Pulau dengan luas wilayah 5.625 km² ini berpenduduk lebih dari 700 ribu jiwa yang tersebar di lima daerah otonom Kabupaten/kota dengan perincian penduduk sebagai berikut;
 Total populasi kabupaten Nias mencakup Kabupaten Nias Induk, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Barat dan kota Gunungsitoli total populasi 443,492 jiwa terdiri dari Laki-laki 217,492 jiwa dan perempuan 226,000 jiwa.
 Untuk populasi Nias Selatan, total 272,848 dengan perincian laki-laki 134,770 dan perempuan 138,078
Dari populasi pendudukn tersebut, tingkat populasi anak berdasarkan estimasi penghitungan SPAN 2005 sekitar 40 % untuk Nias dan 55 % untuk Nias Selatan. Dengan estimasi tersebut maka populasi anak usia 0-18 tahun adalah:
• Nias Selatan ± 141 722 jiwa
• Nias (mencakup Kabupaten Nias, Nias Utara, Nias Barat dan kota Gunungsitoli) pulasi anak ± 185,980 jiwa.

1.3 Fakta Situasi Anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus
Meskipun dalam konsepnya ada sembilan sektor kategori anak yang membutuhkan perlindungan khusus berdasarkan penjelasan Undang-undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak, namun pemetaan ini hanya memfokuskan pada lima sektor yang faktanya sering muncul kepermukaan berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu, observasi maupun pemberitaan-pemberitaan media. Namun tidak tertutup kemungkinan masih ada fakta lain yang belum berhasil diungkap dalam penelitian ini karena minimnya informasi maupun tidak adanya data yang akurat dilembaga-lembaga pemerintahan maupun non-pemerintah.
Kelima sektor yang berhasil dipetakan secara mendalam situasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus adalah:
1) Anak yang berhadapan dengan hukum
2) Anak yang menjadi korban kekerasan
3) Anak yang dieksploitasi secara ekonomi atau seksual,
4) Anak yang berkebutuhan khusus (menyandang cacat),
5) Anak yang menjadi korban perlakuan salah dan penelantaran

a) Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH)
Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) merupakan istilah yang ditujukan kepada anak-anak yang terlibat dalam permasalalahan hukum baik sebagai korban, pelaku maupun sebagai saksi dalam suatu perkara hukum. Secara lebih spesifik pembahasan anak yang berhadapan dengan hukum pada bagian ini fokus pada situasi anak yang sebagai pelaku atau disangka menjadi pelaku tindak pidana. Sepanjang tahun 2010 PKPA Nias mencatat telah mendampingi 32 kasus ABH dan menurut data laporan dari Kepolisian Resort Nias dan Nias Selatan sepanjang 5 tahun terakhir 2006 -2010 tercatat 162 anak yang ajukan ke proses peradilan. Tindak pidana yang disangkakan kepada anak-anak tersebut sebagain besar adalah kasus pencurian, penganiayaan, judi dan kecelakaan lalu lintas. (Sumber: PKPA Nias, 2010)
Proses peradilan telah menyebabkan kerusakan psikologis terhadap anak-anak. Mereka mengalami trauma dan stigmatisasi dalam sistem peradilan yang harus mereka lalui,” Anak dan keluarganya sering “cap negative”, bahkan ketika kasusnya dibatalkan karena terbukti tidak bersalah atau setelah bebas dari penjara tetap saja tidak ada rehabilitasi. Stigmatisasi tersebut dapat mengurangi akses anak ke sekolah dan kesempatan hidup lebih baik lagi dimasyarakat. Sekolah, keluarga dan orang tua terkadang menolak kembalinya anak tersebut. Majikan juga tidak mau menerima anak-anak yang telah berhadapan dengan hukum atau eks “narapidana anak”, sehingga jalan keluar adalah mereka sering kembali melakukan kejahatan (residivis anak). Fenomena residivis anak telah menjadi masalah yang sangat memprihatinkan di Nias, aparat penegak hukum di Nias mengakui bahwa beberapa anak telah berkali-kali menjalani proses hukum namun tidak ada solusi pembinaan jangka panjang.

b) Anak Korban Kekerasan
Seorang anak perempuan berusia 7 tahun, bernama A.Telaumbanua menjadi korban penganiayaan dalam lingkup rumah tangga. penganiayaan ini dilakukan oleh Kakak Sepupu korban seorang perempuan bernama N.Telaumbanua (20 tahun). peristiwa penganiayaan terakhir kalinya diketahui oleh Kepala dusun pada 14 Juli 2009. Namun menurut informasi warga sekitar, kekerasan tersebut sudah sering terjadi dan hampir setiap hari. Kondisi anak akibat kekerasan tersebut sangat kritis dan dalam keadaan pingsan karena mengalami luka parah di bagian kepala, pangkal paha dan dibagian tubuh lainnya. Korban diselamatkan oleh kepala lingkungan dibantu warga yang memaksa masuk kerumah pelaku dan mendapati korban dalam keadaan tidak sadarkan diri, korban di bawa ke Rumah Sakit. Setelah dirawat selama 3 hari di Rumah Sakit Umum Gunung Sitoli, nyawa korban tidak tertolong lagi dan akhirnya meninggal pada tanggal 17 Juli 2009, pukul 19.00 WIB.
Kekerasan seperti yang dialami oleh A.Telaumbanua diatas bukanlah cerita baru dan satu-satunya yang terjadi. Masih segar diingatan kita menjelang akhir tahun 2009 lalu atau mengawali tahun 2010, sebuah tragedi memilukan hilangnya nyawa anak-anak tak berdosa ditangan ibu kandungnya sendiri. Tepatnya tanggal 27 Desember 2009 tiga anak tewas dan dua lainnya dalam kondisi kritis di Rumah Sakit akibat penganiayaan yang dilakukan oleh Ibu Kandungnya. Kasus tersebut memang mendapat perhatian yang luar biasa dari banyak pihak baik media, politisi daerah dan nasional namun tidak demikian dengan beberapa kasus kekerasan lainnya. Kekerasan demi kekerasan terus saja mengancam anak-anak di Pulau Nias. Sepanjang tahun 2010 tercatat 59 kasus kekerasan terhadap anak, jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya (2009) yang berjumlah 42 kasus.
Korban kekerasan terbesar dialami oleh anak-anak perempuan pada usia 6 – 18 tahun, sekitar 70% kasus kekerasan yang dilaporkan korbannya adalah anak perempuan. Jenis kasus kekerasan yang dialami anak-anak sebagian besar tergolong kasus tindak pidana berat yaitu kekerasan seksual (perkosaan, pencabulan, pelecehan), trafficking dan penganiayaan fisik yang berakibat pada kecacatan dan kematian. Lebih memprihatinkan lagi ternyata kasus-kasus kekerasan lebih dominan dilakukan oleh orang-orang terdekat dalam lingkup domestik, seperti orang tua kandung, wali, tetangga, kerabat keluarga dan oknum guru. Setiap tahunnya kasus-kasus yang dilaporkan sekitar 60% diantaranta merupakan kasus yang terjadi dalam lingkup domestik. Meskipun kasus kekerasan dilingkup domestik seperti keluarga dan sekolah sangat tinggi, namun upaya perlindugan dan penegakan hukumnya sangat sulit. Para korban mengalami banyak tekanan, intimidasi, bahkan pemecatan dari sekolah apabila melaporkan kasus kekerasan ke pihak kepolisian. Kekerasan tersebut dianggap sebagai “kewajaran” yang harus diterima oleh anak-anak. Orang tua, kerabat dekat dan guru merasa memiliki otoritas dan kendali penuh atas anak-anak mereka.
Suster Clara Duha,OFP (Kepala Panti Asuhan Faomasi-24/11/2010)“ ada anak pelajar SMP yang diperkosa oleh pamannya sendiri , kemudian anak tersebut hamil. Dan sempat kita rawat disini sampai anak itu melahirkan. Setelah anaknya lahir kemudian dia kembali kepada orangtuanya seolah belum terjadi apa-apa dan anak yang dilahirkannya kita berikan kepada orang lain yang mengadopsi agar anak tersebut ada yang mengurus.” Dan “ ada juga pernah terjadi pelajar yang sempat pacaran dengan orang yang lebih dewasa dari padanya kemudian anak tersebut hamil diluar nikah namun keluarga siperempuan tidak setuju menikahkan anaknya dengan laki-laki yang telah menghamili anaknya, dan akhirnya anak perempuan tersebut disuruh keseberang (keluar pulau Nias) oleh orangtuanya kerumah famili untuk melahirkan disana maksudnya agar aib keluarga tidak sampai ketahuan masyarakat.”

c) Pekerja Anak
Nama ku R. Telaumbanua, saat ini umurku baru 14 tahun. Setelah tamat SD aku nggak sekolah lagi, tapi karena permintaan Ibu untuk bantu pekerjaan di rumah aku nggak dikasih sekolah. Selain mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci piring, cuci pakaian dan memasak, aku juga bekerja mengumpulkan batu-batu gunung untuk di jual. Aku pernah minta ke ayah untuk lanjutkan sekolah SMP tapi ayah malah marah, bahkan ayah pernah nampar aku karena ngak mau pergi ke bukit untuk ngambil batu. Sekarang aku nggak ada pilihan lagi dan nggak bisa mbantah kata ibu untuk membantu pekerjaan dirumah dan juga menuruti permintaan ayah untuk membantu ngambil batu di bukit. (sawo,2006- wawancara oleh Tim PKPA)

Kisah diatas hanyalah sebagian kecil dari ratusan atau bahkan ribuan kisah anak-anak yang hidup di pulau Nias mengalmi nasib sama atau lebih buruk lagi mulai dari pesisir pantai sampai desa pedalaman yang sulit dijangkau kendaraan. Memang belum ada angka pasti beapa jumlah anak-anak di pulau Nias yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah dan terlibat dalam bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Namun melihat data drop out anak dari sekolah yang tinggi sangat mungkin jumlah pekerja anak juga tinggi. Berdasarkan hasil kajian cepat PKPA-ILO Ipec tahun 2006 menemukan data bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka semkain rendah partisipasi anak ke sekolah, mereka terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak
Ada dua jenis pekerjaan yang banyak dilakukan anak-anak ketika PKPA melakukan penelitian di Kecamatan Tuhemberua, Sawo dan Lahusa yaitu: penambang pasir dan pemecah batu. Mencari pasir atau batu serta memecah batu sudah lama menjadi tradisi di daerah-daerah tersebut. Di Hiliduruwa-kecamatan Sawo, penduduk lokal telah melakukan praktek ini sejak 30 tahun yang lalu. Kemudian, permintaan yang besar material pasir dan batu untuk kerja-kerja konstruksi pasca tsunami 2004 dan gempa bumi 2005 telah meningkatkan besaran praktek tersebut secara drastis. Semakin banyak daerah yang dieksploitasi untuk pengambilan pasir dan batu maka semakin banyak pula anak-anak yang terlibat. Meski praktek mempekerjakan anak sudah lama berlangsung namun data pekerja anak belum diketahui secara pasti karena belum adanya pendataan dari pihak manapun.
Hampir semua desa terdapat bentuk pekerjaan yang berbahaya bagi anak-anak. Dari kajian cepat tersebut diketahui bahwa sektor pekerja anak lainnya yang banyak dilakukan anak-anak dalam kategori berbahaya untuk anak antara lain:
- Terlibat sebagai kuli bangunan dan jalan, kegiatan konstruksi dengan sistem borongan secara tidak langsung telah membuka peluang bagi orang tua untuk mengikut sertakan anak-anak mereka guna mencapai tager dengan cepat.
- Sektor perikanan, sebagai nelayan tradisional bersama keluarga maupun toke kapal, tidak ada di Nias Barat maupun Nias Utara sektor perikanan yang dikelola oleh perusahaan besar.
- Urbanisasi ke daerah lain disekitar Nias seperti kota Gunung Sitoli dan kota Teluk Dalam dan urban keluar Pulau Nias seperti Sibolga dan Medan, bekerja diberbagai sektor pekerjaan informal seperti penarik beca, pemulung, pedagang asongan dan menjadi buruh di pelabuhan, rumah makan, café dan toko-toko.

d) Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA)
Meski fenomena ESA masih sangat kontroversial keberadaannya, namun fenomena yang muncul dikota-kota Besar seperti Medan , sepertinya maraknya bisnis prostitusi di kalangan pelajar patut diwaspadai perkembangannya di Kota-kota yang ada di Pulau Nias. Beberapa Temuan di Lapangan dari berbagai sumber yang dirahasiakan identitasnya memiliki potensi untuk dikategorikan ESA,yaitu :
• Seorang anak perempuan berinisial E ( 16 tahun) telah terlibat sebagai pekerja seks komersial anak (ESKA) selama satu tahun terakhir dan meninggalkan bangku sekolah pada kelas dua SLTP. Menurut informasi E Ia tidak sendirian, tapi masih ada perempuan-perempuan lain yang usianya antara 15 – 25 tahun menjadi “perempuan panggilan” di sekitar Kota Gunungsitoli.
• Beredarnya video mesum yang diketahui masih pelajar, kejadian di tahun 2010 sedikitnya ada dua vidio mesum yang beredar di masyarakat. Peristiwa tersebut menimbulkan keprihatinan dikalangan guru dan orangtua.
• Adanya pelajar-pelajar di tingkat SMP dan SMA di kota Gunungsitoli yang berprofesi sebagai wanita panggilan, biasanya ini adalah anak-anak yang berasal dari luar kota dan tinggal dirumah kost.
• Adanya pelajar-pelajar yang hamil diluar nikah, kemudian meminta pertolongan dokter untuk dilakukan aborsi usia kehamilan rata-rata 2 sampai 4 bulan. (sumber ; dokter xxx) dan laporan kasus di kepolisian.

Beberapa pendapat tentang masyarakat tentang bentuk eksploitasi seksual anak (ESA) ;

Drs. Yasato Harefa (Sekretaris Lembaga Budaya Nias / LBN) 15/11/2010 ”Saya hanya mendengar-dengar kalau ada sebagian anak-anak sekolah yang terlibat dalam pelacuran dan memang saya belum melihat langsung tapi hal ini pernah saya dengar dari guru-guru hanya saja terselubung tidak diekspos termasuk penyalah gunaan handphone (HP) oleh anak sekolah. Kasus-kasus yang pernah terjadi pelecehan seksual dan juga perkosaan yang mana pelaku dan juga korban adalah anak-anak.”

Ridwan Halawa (Kabid Pemberdayaan Sosial Kabupaten Nias Selatan) 18/11/2010 ”Buruh anak didaerah Nias Selatan ini banyak kita temukan terutama dikawasan sebelum masuk kota Teluk Dalam disitu ada anak-anak yang bekerja sebagai pemecah batu, memanjat pohon kelapa dan itu dilakukan karena disuruh oleh orangtuanya. Pelacuran anak yang diekploitasi oleh orang dewasa itu ada tapi terselubung saya pernah mendengar ada anak sekolah dibawah umur 16 tahun menjadi PSK tapi saya belum pernah melihatnya secara langsung.”
Fatulusi Gulo (Kabid. Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat) 22/11/2010 “Walaupun saya baru bergabung di Dinas Sosial, sepanjang pengamatan saya memang ada anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan seksual di dalam keluarga yang tergolong dalam taraf kemiskinan. Anak-anak yang dibiarkan oleh orangtua untuk bekerja mencari nafkah dan mengabaikan sekolahnya saya rasa itu masih ada.”

e) Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra , tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
Dipulau Nias sendiri hanya tercatat satu lembaga yang melakukan pendampingan terhadap anak berkebutuhan khusus, yaitu Pusat Rehabilitasi Yakkum. Sedangkan untuk SLB sendiri, di Kota Gunungsitoli terdapat 1 SLB yaitu SDLB Negeri Gunungsitoli, di desa Dahana Tabaloho, dengan murid kurang lebih 16 orang dan guru sebanyak 5 orang. Dimana disekolah ini murid yang belajar rata rata mengalami tuna rungu, tuna wicara dan tuna grahita. (sumber www.rehab.go.jp/facilitiesinindonesia)
Pusat rehabilitasi Yakkum sendiri sudah melaksanakan kegiatan pendampingan terhadap pasien berkebutuhan khusus sejak tahun 2005. Dan jumlah anak yang didampingi adalah sebanyak 284 anak yang tersebar di 29 kecamatan. Dan pasien yang mendapat pendampingan dari PRY adalah pasien yang mengalami cacat fisik, yang disebabkan cacat lahir, kecelakaan atau bahkan akibat dari bencana gempa yang terjadi dipulau Nias tahun 2005 yang lalu.
Pendampingan yang dilakukan oleh PRY adalah penanganan medis berupa perawatan tehadap luka, operasi dan fisioterapi untuk meningkatkan fungsi mobilitas pasien. Pasien juga diberikan alat bantu untuk membantu mereka berjalan. Selain itu mereka juga melakukan pendampingan psikososial untuk psikis pasien. Karena kebanyakan pasien yang didampingi, ketika mereka mengalami kecacatan, baik karena bawaan lahir ataupun karena kecelakaan atau bencana alam, mereka akan didiskriminasi dari lingkungan sosial dan keluarga, seakan akan itu adalah suatu hukuman.

f) Perlakuan Salah terhadap Anak
Secara umum pengertia penelantaran anak adalah tidak menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal maupun tidak memberikan kasih sayang yang cukup bagi seorang anak. Seorang anak dikatakan terlantar bukan karena ia sudah tidak memiliki salah satu orangtua atau keduanya. Anak terlantar adalah anak-anak yang karena suatu sebab tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik rohani, jasmani, maupun sosial. Terlantar disini juga dalam pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh-kembang secara wajar, hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai tidak terpenuhi karena kelalaian, ketidak mengertian orangtua, karena ketidak mampuan, atau karena kesengajaan (Lati Gumilang, 2008).
Menurut Indra Sugiarno Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang seharusnya menjaga dan melindungi anak (caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi. Pelaku kekerasan di sini karena bertindak sebagai caretaker, maka mereka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak. Ibu dan bapak kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi,guru, tukang ojek pengantar ke sekolah, tukang kebon, dan seterusnya.

Jenis –jenis perlakuan salah dan penelantaran.
Berbagai macam bentuk perlakuan salah dan penelantaran terhadap anak telah ditemukan sepanjang dilakukannya mapping ini, antara lain :
• Pembiaran anak-anak terjebak dalam situasi yang dapat merusak perilaku dan moral anak (narkoba, pornografi dan pornoaksi).
• Menitipkan anak dipanti asuhan dalam waktu yang panjang meski keluarga anak masih ada, “melepas beban tanggung jawab penuhan hak dasar anak”.
• Bayi yang dibuang.
• Perinkahan di Usia Dini dan juga pemaksaan pernikahan pada anak usia muda dibawah 18 tahun.
• Diskriminasi hak anak laki-laki dan perempuan baik dalam masalah sosial, pendidikan dan hak sipil/politik.
• Menjatuhkan sanksi yang berkelanjutan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual (pengusiran, nikah paksa di usia anak, menutup hak anak atas pendidikan)

1.4 Penutup
Anak, bukanlah miniature orang dewasa, anak memiliki sifat dan keunikan tersendiri. Dalam kondisi apapun hak-hak anak tidak dapat diabaikan, termasuk anak yang berhadapan dengan hukum. Ketika Negara tidak dapat memenuhi fasilitas dan perangkat hukum untuk mewujudkan pemenuhan hak anak yang berkonflik dengan hukum, maka seharusnya negara tidak mengorbankan hak-hak anak. Yaahowu (PKPA Nias-2010)

PENGHAPUSAN PEKERJA ANAK NISEL

PRESS RELEASE
PKPA & DINAS SOSIAL NISEL
LAKSANAKAN WORKSHOP PENGHAPUSAN PEKERJA ANAK


Mengusung tema “ Menuju Nias Selatan Bebas Pekerja Anak” PKPA bekerjasasama dengan Dinas Sosial Pemerintah Kabupaten Nias Selatan dan didukung oleh Kindernothilfe menyelenggarakan workshop evaluasi kebijakan dan pengembangan program aksi penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di Nias Selatan. Workshop selama 2 hari pada tanggal 10-11 Mei 2011 bertempat di Rei Center, Teluk Dalam.Bertindak sebagai fasilitator kegiatan Sdr. Misran Lubis (Direktur Eksternal PKPA).
Bupati Nias Selatan yang diwakili Plt. Kepala Dinas Sosial Nias Selatan Bapak. Tandramböwö Lase membuka secara resmi workshop ini. Dalam sambutannya Plt. Kepala Dinas Sosial mengatakan persoalan anak di Nias Selatan sangat kompleks, selain masalah bentuk-bentuk pekerjaan terburuk masih ada persoalan-persoalan lain yang belum teratasi dengan baik. Seperti masalah perdagangan anak baik anak laki-laki maupun anak perempuan, perkosaan anak-anak, penganiayaan dan anak terlantar. Lebih lanjut Bapak Tandramböwö Lase mengatakan rasa terima kasih kepada PKPA karena secara terus menerus memberikan perhatian kepada anak-anak di Nias Selatan.
Workshop dihadiri 30 peserta anggota Komite Aksi Kabupaten Nias Selatan untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (KAK-PBPA NISEL) yang berasal dari berbagai lembaga pemerintah, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan dan perguruan tinggi. Selama dua hari melakukan diskusi dan evaluasi terhadap situasi pekerja anak di Nias Selatan, para peserta memberikan sejumlah rekomendasi untuk ditindak lanjuti oleh Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat di Nias Selatan. Beberapa rekomendasi tersebut antara lain:
- Komite Aksi Kabupaten Nias Selatan untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (KAK-PBPTA Nisel) yang telah di bentuk melalui SK Bupati Nisel sejak Mei 2010 harus segera menyusun program kerja dan alokasi anggara di masing-masing SKPD untuk mengatasi masalah anak di Nias Selatan.
- Pemerintah Kabupaten Nias Selatan segera membuat peraturan untuk menetapkan bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk yang dilarang untuk anak-anak di Nias Selatan dan mensosialisasikannya kepada masyarakat luas.
- Penyediaan infrastruktur layanan bagi anak yang menjadi korban kekerasan, seksual dan penelantaran.
Diakhir acara semua peserta menyatakan dukungan dan komitmennya untuk mengawal agar rekomendasi yang akan disampaikan kepada pimpinan-pimpinan pemerintahan di Kabupaten Nias Selatan benar-benar terealisasi. (Mis/PKPA 11-Mei-2011).

Jumat, Mei 06, 2011

PKPA TERBITKAN DUA MODUL BENCANA BERPERSPEKTIF ANAK

Tsunami dan gempa bumi yang terjadi pada 26 Desember 2004 yang melanda Propinsi Aceh dan Sumatera Utara, Indonesia memberikan pengalaman tersendiri bagi PKPA dalam melaksanakan program kemanusiaan yang secara spesifik ditujukan pada perlindungan anak di situasi yang tanggap darurat. Setelah gempa bumi dan tsunami yang maha dahsyat terjadi di Aceh dan Sumatera Utara, bencana alam susulan terjadi di beberapa tempat lain di Indonesia. Salah satunya adalah gempa bumi berkekuatan 8,7 SR meluluh lantakkan bumi Nias, kemudian letusan Gunung Merapi dan gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah tahun 2006, dan rentetan bencana lainnya di Indonesia. Potensi bencana di Indonesia tergolong sangat tinggi, menurut catatan Badan Kordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (BAKORNAS PBP) selama kurun waktu 1997-2004 tercatat lebih dari 1000 kali bencana di Indonesia. Dengan tingkat korban jiwa diperkirakan lebih dari 40.000 Jiwa. Belum termasuk data bencana Tsunami yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara tahun 2004, dimana korban jiwa lebih dari 200.000 orang dan di pulau Nias korban jiwa mencapai 800 orang.
Tragedi kemanusiaan selalu menyisakan duka dan kerugian yang tidak terhitung, namun kita selalu mengambil hikmah dari setiap peristiwa tersebut sebagai pelajaran berharga dari alam. Salah satu pembelajaran yang dapat diambil dari setiap bencana yang terjadi di Indonesia adalah bahwa anak-anak merupakan kelompok yang sering terabaikan dan tidak tertangani dengan baik. Trauma psikologis, kesehatan anak dan perlindungan khusus terhadap anak, kurang mendapat perhatian dan sering tidak tepat dalam penanganannya. Kondisi lain yang juga mengancam anak-anak dalam situasi darurat pasca bencana adalah eksploitasi ekonomi, keterpisahan dari keluarga dan kehilangan arena dimana mereka biasa beraktifitas dan bermain dengan teman-teman sebaya. Anak-anak dalam keadaan darurat/bencana bisa berada dibawah risiko dan ancaman serius, karena tingkat ketergantungan mereka yang tinggi terhadap orang dewasa. Mereka belum memiliki banyak pengalaman hidup, kemampuan anak untuk melindungi diri sendiri terbatas, dan mereka tidak dalam posisi yang dapat mengambil keputusan atas dirinya sendiri.
Melihat kenyataan yang terjadi selama ini telah mendorong keprihatinan tersendiri bagi PKPA sebagai sebuah lembaga yang konsern pada anak-anak, merasa penting untuk menciptakan sebuah pedoman bagi para relawan kemanusiaan dalam penanganan anak-anak korban bencana. Meski panduan ini bersifat internal untuk pedoman relawan PKPA, namun tidak tertutup kemungkinan lembaga-lembaga lain yang membutuhkan dapat memanfaatkannya dengan terus berlatih dan belajar dari setiap peristiwa.
Setelah bekerja selama enam bulan sejak Juni hingga akhir Desember 2010 akhirnya PKPA bisa menyelesaikan penulisan dua modul yang terkait dengan kebencanaan dengan konten utama untuk menyelamatkan dan memperkuat partisipasi anak. proses penulisan kedua modul tersebut telah melalui sebuah penelitian mendalam di Sumatera Utara, Aceh dan Sumatera Barat melibatkan berbagai informan dari berbagai sumber mulai dari instansi pemerintah, Internastional NGOs, Nasional NGO, Local NGO, Akademisi, Tokoh Masyarakat, Guru dan Anak-anak. Meski PKPA sendiri telah memiliki sejumlah data dan pengalaman langsung dari penanganan anak dalam situasi tanggap darurat, namun proses kajian mendalam dianggap penting untuk pengayaan data, informasi dan pengalaman banyak pihak. kedua modul tersebut adalah:


1. Modul Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana Bagi Sekolah; Pentingnya Modul ini didasari dari kenyataan bahwa, dari beberapa institusi yang ada di komunitas masyarakat, sekolah merupakan salah satu institusi strategis untuk diperhatikan terkait pengurangan risiko bencana. Ada beberapa alasan untuk ini; Pertama, sekolah tempat komunitas anak yang terorganisir dalam jumlah besar, sehingga anak-anak memiliki kerentanan menjadi korban bencana terutama jika pada saat kejadian mereka sedang berada di ruang kelas. Kedua, sekolah memiliki potensi mentransformasi pengetahuan, nilai dan tradisi pengurangan risiko bencana secara terencana, sistimatis dan berkelanjutan. Pendidikan pengurangan bencana bagi sekolah (PRB-BS) dapat dilaksanakan melalui berbagai pendekatan, baik Pendidikan formal, nonformal, maupun informal.


2. Modul: Pedoman Penanganan Anak dalam Situasi Tanggap Darurat; Tingginya potensi bencana di Indonesia, namun Indonesia belum memiliki sistem penanganan bencana yang komprehensif untuk melindungi anak-anak. Indonesia seharusnya memiliki sebuah kebijakan khusus untuk menangani anak-anak dalam situasi tanggal darurat. Institusi-institusi lokal yang ada di komunitas seperti sekolah, panti-panti asuhan, organisasi keagamaan, lembaga adat/budaya perlu diperkuat kapasitasnya untuk mampu memberikan respon cepat menangani anak-anak ketika bencana terjadi. Institusi-institusi ini sangar dekat dengan kehidupan anak-anak, agar penanganan anak-anak tidak mengalami keterlambatan karena harus menunggu kehadiran organisasi-organisasi perlindungan anak dari luar daerah maupun luar negeri. Hal ini seharusnya dapat mengurangi kondisi lebih buruk yang mengancam anak dalam situasi tanggap darurat. Dengan adanya pedoman ini diharapkan dapat menjadi salah satu revensi bagi para relawan kemanusiaan dan orang-orang yang terdekat dengan anak saat bencana dating, untuk menentukan sikap dan langkah-langkah yang tepat menangani anak.



Semoga kehadiran kedua modul ini di Indonesia akan menambah referensi dan pengetahuan baru bagi semua pihak dalam meningkatkan perhatian dan partisipasi anak dalam penanggulangan bencana di Indonesia. Bagi anda yang ingin memiliki kedua modul tersebut dapat mengirimkan surat ke alamat kantor PKPA Medan Jln. Abdul Hakim No.5A Pasar I Setia Budi, Medan, 20132 atau kirim via email ke pkpamdn@indosat.net.id atau lubiscom@yahoo.com. PKPA juga dapat memfasilitasi anda sebuah training untuk meningkatkan kemampuan tim anda menggunakan kedua modul tersebut. Kontak Person: Misran Lubis (Kordinator Unit PKPA Emergency Aid).

Salam Penulis
Misran Lubis

Senin, Mei 02, 2011

PROTECTING CHILDREN IN EMERGENCY SITUATION

PROTECTING CHILDREN IN EMERGENCY SITUATION
(PKPA’s experiences in emergency response program in Indonesia)
By: Misran Lubis (Coordinator of PKPA Emergency Aid)



Disaster situation in Indonesia
The 26 December 2004 earthquake and tsunami that struck Aceh and North Sumatra Provinces, Indonesia, gave PKPA valuable experiences in humanitarian program with specific objective to protect children in emergency situation. The deadly earthquake and tsunami in Aceh and North Sumatra Provinces were also followed by a series of natural disasters in other areas in the country such as the 8.7 on the Richter scale earthquake that rocked Nias in 2005, Mount Merapi eruption and strong earthquake that hit Yogyakarta and Central Java in 2006, etc. It is a fact that Indonesia is particularly vulnerable to natural disaster. Based on data from the National Coordinating Agency for Disaster and Refugee Management (Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsi – BAKORNAS-PBP), there were more than 1,000 disasters in Indonesia from 1997 to 2004. These disasters killed approximately 40,000 people. This still excluded more than 200,000 people who were killed by the 2004 earthquake and tsunami in Aceh and North Sumatra and more than 800 people who were killed by the strong earthquake in Nias Island.
The high intensity of earthquake in these last five years clearly shows that Indonesia is one of disaster prone countries in the world. Indonesia is particularly vulnerable to not only tectonic earthquake but also volcanic earthquake. This is because the country is located on the ring of fire. Climate change also may cause natural disaster in Indonesia. Nearly 80 percent of areas in Indonesia are at high risk of natural disaster such as earthquake, tsunami and volcanic eruption.

Earthquake, tsunami and volcanic eruption prone areas in Indonesia
Based on disaster map in Indonesia, it is only some areas in Kalimantan Island which are not categorized as earthquake and tsunami prone area. Currently, Indonesia has more than 129 active volcanoes and more than 500 inactive volcanoes. These volcanoes are spread in some areas in Sumatra Island, Java Island and Sulawesi Island. These last 100 years, there are more than 175,000 people who were killed by volcanic eruption.
One of lessons learned from any disaster in Indonesia is that the needs of the affected children are often overlooked and they are not protected properly. Trauma and illness due to the disaster are often overlooked and not dealt with properly. Additionally, children in emergency or disaster situation are particularly vulnerable to economic exploitation, separation from family and loss of playground where children can play with their peer. Condition of the refugee camp which is not child-friendly is often deteriorated by child abuse and exploitation.
Due to their dependency on adults, children in emergency or disaster situation are at high risks and under serious threats. Since children are still immature, they have no capacity to protect themselves and are not in a position to make a decision that may affect their lives.
Following the 2004 earthquake and tsunami in Aceh and Nias, child survivors are not safe from various threats automatically. Hundreds of children are kidnapped and trafficked due to separation from family and acute poverty following the disaster. Hundreds of children in Nias Island also have to work as construction worker and in sand mining to meet the need of building materials for rehabilitation and reconstruction works. Following the strong earthquakes in Yogyakarta and West Sumatra, the affected children are forced to become beggar along the street.
Although Indonesia is a disaster prone country, it does not have any comprehensive disaster management system to better protect children. In its disaster management scheme, the Indonesian Government still does not pay special attention to child protection aspect. Even, the protection and fulfillment of the fundamental rights of the affected community, including those of the affected children, are merely seen as moral and social issue rather than State’s responsibility and duty to its people.

PKPA and humanitarian mission for children
The condition of children so far has raised great concern to PKPA as an organization which focuses its program mainly on child issues in Indonesia. PKPA has started its emergency response and humanitarian mission program since 2003. In the year, flash floods swept Bukit Lawang of North Sumatra and killed more than 200 people. In 2004 and 2005, PKPA implemented emergency response program to assist those affected by the earthquake and tsunami in Aceh and Nias Island. In 2006, PKPA also implemented emergency response program following the strong earthquake that struck Klaten, Central Java. In 2009, the organization worked with victims of West Sumatra earthquake. Meanwhile, in 2010, PKPA implemented emergency response program for victims of Mount Sinabung eruption in the District of Karo, North Sumatra.
Up to now, PKPA has been working with more than 25,000 child IDPs through its humanitarian relief program such as a) Child trauma and psychological recovery, b) Provision of temporary school service and school recovery program, c) Provision of micro nutrient and basic health service for women and children, d) Child protection and advocacy for the fulfillment of children’s fundamental rights in refugee camps, and e) Provision of school-based and child-based disaster preparedness.
PKPA also has established a special service unit called PKPA Emergency Aid (PEA) to pay greater attention to children in emergency or disaster situation.
The establishment of this special service unit by Center for Study and Child Protection (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak – PKPA) in 2006 is an integral part of its strategic plan to prevent possible worst things that may happen to children in emergency situation. The establishment of the special service unit is encouraged by the fact that children’s fundamental rights are often violated in disaster situation in Indonesia, especially in North Sumatra, Nias Island and Aceh. The establishment of PKPA Emergency Aid aims:
a) To develop mechanism, system, work structure and service prioritized for children affected by disaster and conflict
b) To prepare child-friendly volunteers and humanitarian relief organizations in emergency situation
c) To give support and humanitarian response to children in areas affected by disaster and conflict in Indonesia
d) To take child-friendly disaster risk reduction efforts

PKPA Emergency Aid develops two modules
Following the completion of its emergency response program in West Sumatra in 2009, PKPA received supports from two international organizations i.e. World Vision International (WVI) and Kindernothilfe (KNH) Germany to develop two disaster-related modules. The first module is ‘School-based Disaster Risk Reduction Education’ which is supported by WVI and the second module is ‘Protection and Dealing with Children in Emergency Situation’ which is funded by KNH. The two modules will complete the existing modules in Indonesia.

Following are reasons for the development of these two child-based and school-based modules:
 Children are the most vulnerable group in disaster situation (the number of children who are killed by natural disasters in Indonesia is very high).
 Children spend about 30 percent of their time in school (organized child community).
 Disaster risk reduction is an integral part of the national education system.
 It is particularly important to improve child participation in any policy related to children, especially in disaster issues.
 School is often used as shelter or refugee camps during disaster or emergency situation.

The development of the modules is based on not only academic theory but also field studies, local wisdom in Indonesia and experiences of field staffs and volunteers in emergency response program. The development of module entitled ‘School-based Disaster Risk Reduction’ is based on modules and approaches so far used by WVI and the implementing partner. It is expected that the module will offer a more applicable and contextual method to its users during disaster risk reduction together with children and school community in Indonesia. Meanwhile, KNH also hopes that the module can be adopted and used by its partners in other countries, especially those affected by disaster like Indonesia.

Supports for disaster preparedness and emergency response
Since Indonesia is a disaster prone country, disaster preparedness is vital to enable relevant parties to give quick response to the situation of children. Below are the needs of PKPA Emergency Aid for disaster preparedness:
a. Evacuation tool: Currently, PKPA has two ambulances. However, the organization still needs operational costs for fuel, drivers, volunteer team and health workers in emergency situation.
b. Special tent for children: two units of 6 x 8 meter tents with good ventilation. The special tent for children should be equipped with blanket, bed, mattress and pillow.
c. Mobile library car: It will be used for learning and recreational activities to ensure that the psychosocial activity can reach all IDP camps.
d. Funds: The funds will be used to meet children’s basic needs such as nutritious foods, medicines and daily clothes.

If you want to support PKPA’s humanitarian program in emergency situation in Indonesia and disaster risk reduction education, please contact:

PKPA Medan
Jl. Abdul Hakim No. 5 A Pasar I, Setia Budi, Medan, Indonesia, 20132
Phone: +6261- 820 0170 Fax : +6261-821 3009
Email: pkpamdn@indosat.net.id & lubiscom@yahoo.com
Website: www.pkpa-indonesia.org or www.niaschild.multiply.com
Contact Person: Ahmad Sofian (Executive Director)
Bank details:
Bank name: BNI Cabang Medan,
Account number: 0057863176, account holder: Yayasan PKPA

PKPA Menjaga Anak Indonesia

SUCCES STORY
PERJALANAN PKPA MENJAGA ANAK INDONESIA

1. Lembaga yang konsisten terhadap issu anak, berdiri tahun 1996 di era rezim

presiden Soeharto yang terkenal diktator dan anti kebebasan masyarakat sipil. Pernah menghadapi masa sulit diera reformasi tahun 1998 dimana gerakan organisasi non-pemerintah mendapat tekanan militer, PKPA mampu bertahan dengan tetap memegang mandat perlindungan anak. Pasca kejatuhan rezim soeharto sejumlah organisasi non-pemerintah untuk perlindungan anak di Sumatera Utara mengalami krisis kepercayaan dan konsolidasi, sehingga banyak yang bubar namun PKPA menjadi salah satu diantara sedikit NGOs anak yang masih eksis untuk memperjuangkan hak-hak anak .

2. Advokasi Kebijakan Daerah Sumatera Utara, Lahirnya Peraturan Daerah Sumatera Utara tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak tahun 2004, dimulai dengan Penelitian PKPA didukung oleh PPK-UGM tahun 2001 berjudul “ Menggagas Konsep Perlindungan Anak Korban Trafficking di Sumatera Utara” hasil penelitian ini berkembang menjadi gerakan Masyarakat sipil di Sumatera Utara untuk mendesak pemerintah membuat regulasi daerah. Selama dua tahun proses advokasi dimotori oleh PKPA didukung sekitar delapan organisasi non-pemerintah di Medan akhirnya pemerintah dilevel eksekutif dan legislatif menerima gagasan konsep regulasi sebagai usulan masyarakat. Perda trafficking Sumatera Utara disahkan menjadi Perda kedua yang lahir di Indonesia setelah Perda trafficking pertama disahkan oleh Pemerintah Sulawesi Utara di Manado tahun 2003. Lahirnya sejumlah Perda trafficking di daerah telah mendorong lahirnya kebijakan ditingkat Nasional salah satunya adalah Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

3. PKPA Membangun Komitmen Global Penghapusan Trafficking Anak untuk Tujuan Seksual di Kawasan Asia Tenggara. Tahun 2004 PKPA memprakarsai dan sukses menyelenggarakan Konferensi Asia Tenggara di Medan-Sumatera Utara yang melahirkan “Deklarasi Medan” Konfrensi ini diikuti oleh perwakilan pemerintah dan NGOs dari negara-negara anggota ASEAN plus perwakilan dari Australia, Amerika, Nepal, Taiwan, India, Eropa, Badan PBB dan Lembaga Internasional .

4. Membangun wadah kreatifitas anak jalanan kota Medan, dimulai dari pinggir jalan hingga pondok sederhana pasar tradisional kampung Lalang-Medan. Semangat anak-anak jalanan dan kerja keras para pendamping anak untuk memiliki tempat yang lebih layak sebagai wadah untuk belajar, mengembangkan bakat dan kreatifitasnya akhirnya terwujud. Pendampingan terhadap anak jalanan menjadi fokus kerja PKPA sejak tahun 1998 di kawasan terminal bus dan pasar tradisional Pinang Baris-Medan. Awalnya kegiatan belajar dan diskusi dengan anak-anak dilakukan dipinggir jalan, kemudian pondok-pondok pasar tradisional. Tahun 2003 PKPA mendapat dukungan dari salah satu NGO di Jerman untuk membangun sebuah rumah kretaif anak jalanan. Saat ini anak-anak jalanan di kawasan Pinang Baris dan kota Medan secara keseluruhan dapat menikmati kegiatan belajar, bermain musik dan beragam aktifitas lainnya disebuah rumah permanen yang lebih nyaman dan menyenangkan bagi anak-anak. sejak berdirinya bangunan rumah anak jalanan yang disebut “Sanggar Kreatifitas Anak” PKPA telah berhasil melayani sedikitnya 50 anak per tahun.

5. Menyelamatkan anak-anak dari lokasi sindikat trafficking untuk tujuan prostitusi. PKPA bekerjasama dengan Kepolisian Indonesia, Kedutaan Republik Indonesia di Malaysia dan IOM menyelamatkan anak-anak korban trafficking dari Malaysia, Tanjung Balai Karimun, Batam, Dumai dan Tempat-tempat prostitusi di Sumatera Utara. Kerja-kerja penyelamatan anak-anak korban trafficking dimulai tahun 2000 saat PKPA mendampingi 4 anak perempuan asal Medan berusia 13-16 tahun yang menjadi korban trafficking ke Tanjung Balai Karimun-Riau, sejak tahun 2000 hingga tahun 2008 tercatat lebih dari 500 anak perempuan usia 7 – 18 tahun menjadi korban yang telah didampingi oleh PKPA melalui kantor PKPA Medan, PKPA Nias dan PKPA Aceh. PKPA juga berhasil dalam mendesak aparat penegak hukum untuk menghukum pelaku dengan hukuman maksimal. Salah seorang pelaku trafficking bernama divonis oleh pengadilan negeri Tebing Tinggi dengan hukuman 15 tahun penjara pada tahun 2004.

6. Pembebasan bentuk pekerja terburuk anak di Jermal, pekerja anak disektor penangkapan ikan lepas pantai. Pada tahun 1993 tercatat sekitar 1600 anak laki-laki berusia antara 8 – 15 tahun direkrut oleh para pengusaha perikanan untuk bekerja di Jermal yang berada di perairan laut lepas sekitar Selat Mala-Sumatera. Kerja keras NGOs dan Media di Sumatera Utara termasuk PKPA melalui berbagai cara mulai dari kerja investigasi, penelitian, proses hukum dan advokasi kebijakan, akhirnya anak-anak tersebut berhasil dibebaskan dan pemerintah tidak lagi memberikan izin baru kepada pengusaha untuk mendirikan Jermal di perairan Sumatera Utara karena terbukti melakukan pelanggaran hak asasi anak. Hasil monitoring terakhir PKPA tahun 2008 hanya menemukan 3 – 4 anak yang masih bekerja di Jermal dengan intensitas kerja rendah.

7. Misi Kemanusiaan di Aceh, Nias dan Jawa Tengah. Keberhasilan utama PKPA dalam misi kemanusiaan tersebut adalah mencegah dan menemukan anak-anak korban tsunami dan gempa bumi yang terpisah dari keluarga dan sebagian anak-anak nyaris menjadi korban trafficking. Tercatat 68 anak dari Nias berhasil di Selamatkan selama tahun 2005-2006 yang akan menjadi korban trafficking ke Jakarta, Bogor dan Medan. sampai saat ini PKPA tetap konsisten menjalan misi kemanusiaan untuk perlindungan dan recovery anak-anak di Aceh dan Nias dari bergai tidak kekerasan dan eksploitasi.

Ditulis oleh:
Misran Lubis
External Director of PKPA