Stop Buruh Anak

Stop Buruh Anak

Rabu, April 20, 2011

PERNIKAHAN DINI DI PULAU NIAS

KEKERASAN TERHADAP ANAK PEREMPUAN
& PERNIKAHAN DINI di PULAU NIAS
Oleh: Misran Lubis (Kord. Divisi Litbang PKPA)


Dampak nikah muda, keluarga itu gak harmonis lagi, KB sekarang gak bisa dikendalikan karena masih darah muda, jadi punya anak terus apalagi suami istri itu gak ada kerja makanya la sering berantam, anaknya kurang pendidikan, ngak ada lagi perhatian orang tua. Pagi-pagi orang tua sudah berangkat kerja tinggal anaknya beres-beres sendiri, kalo mau sekolah sekolah lah cari sendiri bajumu, karena saya sudah pengalaman sendiri dan sudah liat sendiri masalah seperti itu dikampung, (Indpeth, Minarti Dachi/02-02-08)

Sepenggal kutipan yang dituturkan salah seorang perempuan Nias dalam sesi diskusi, ia mengisahkan bagaimana keadaan keluarga yang menikah diusia muda, seringa terjadi kekerasan dan pemenuhan hak-hak anak juga terabaikan. Anak perempuan yang menjadi korban kekerasan harus menerima dampak berkelanjutan karena keadilan terhadap penyelesaian masalah belum berpihak pada korban. Mereka harus rela terasing dari keluarga dan lingkungan sosial karena dianggap telah membuat “aib” di keluarga dan masyarakat. Pada bidang hukum, kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan juga belum menjadi perhatian serius. Berbagai alasan dikemukan oleh aparat penegak hukum seperti jarak atau lokasi terjadinya kasus, kesulitan menghadirkan saksi dan alat bukti sehingga memperkuat alasan untuk “mendiamkan” kasus-kasus tersebut dan kemudian menyarankan untuk diselesaikan melalui musyawarah atau kekeluargaan.
Tahun 2008 lalu, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) melakukan sebuah kajian di untuk mendalami fenomena kekerasan terhadap anak dan perempuan serta pernikahan dini dipulau Nias. Metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran umum permasalahan di lokasi penelitian. Sementara metode kualitatif dimaksudkan untuk lebih mendalami pemahaman terhadap fenomena tertentu dengan menggunakan wawancara mendalam, observasi terfokus dan focus group discussion (FGD).
Penelitian ini dilakukan di 5 desa dan 1 kelurahan yang berada di 3 kecamatan, yaitu Gunung Sitoli, Sirombu dan Tuhemberua, Kabupaten Nias. Jumlah sample penelitian adalah: 1) Informan kunci berjumlah 41 orang ( 30 orang laki-laki dan 11 orang perempuan) terdiri dari tokoh-tokoh Desa, Kecamatan, dan Kabupaten dari berbagai bidang pekerjaan dengan usia berkisar antara 19 – 70 tahun. 2) Responden terdiri atas dua kelompok sasaran yaitu anak dan perempuan dewasa. Responden anak berjumlah 278 orang dan Perempuan dewasa berjumlah 218 orang dengan rincian: belum menikah: 69 orang, janda: 12 orang dan yang masih bersuami 137 orang.

Temuan Lapangan

A. Kekerasan Terhadap Perempuan
Bentuk kekerasan yang dikenal masyarakat daerah penelitian dominan kekerasan fisik, hal ini ditandai dengan adanya luka-luka atau kondisi yang dapat dilihat secara langsung. Bentuk kekerasan lain seperti kekerasan verbal, walaupun dianggap bentuk kekerasan tetapi dianggap hal yang lumrah diterima perempuan terutama jika yang melakukan adalah suami atau orangtua (terutama bagi perempuan belum menikah). Masih berkembang asumsi di masyarakat bahwa jika kekerasan yang terjadi akibat kesalahan korban, maka memang pantas diberi hukuman (pukulan, maki-maki dan sebagainya), Bagi penganut Islam, Surat An-Nisa ayat 34 diartikan bahwa laki-laki boleh menghukum perempuan dengan melakukan kekerasan. Padahal jelas ayat tersebut memuat adanya tindakan yang secara bertahap kepada perempuan, jika perempuan tersebut melakukan kesalahan.
Kasus-kasus kekerasan seksual seperti perkosaan hanya beberapa yang dilaporkan ke Polsek atau Polres. Kekerasan ekonomi tidak dianggap merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan baik istri maupun anak perempuan karena perolehan atau pendapatan keluarga dianggap merupakan tanggungjawab bersama untuk memenuhi kebutuhan keluarga termasuk hutang-hutang untuk membayar jujuran. Dalam masyarakat Nias ada ungkapan “WARA HA SANORĂ– IDANO SAATĂ–” yang artinya jika menyeberang sungai, basah juga. Hal ini menjadi pegangan bagi perempuan yang menjadi istri, semua beban yang dipikul suami, istri harus ikut menanggungkannya.
Data yang dapat dihimpun dari Polres, Polsek dan lembaga yang melakukan pendampingan kepada korban sejak tahun 2005-2007 adalah 189 kasus, 27% diantara adalah kasus kekerasan seksual. Sementara kasus terbesar adalah kekerasan fisik yakni 59%. Kasus-kasus lainnya adalah kekerasan psikis 9%, kekerasan ekonomi 1 % dan trafficking 4%. Kekerasan seksual lebih banyak terjadi pada anak perempuan, kekerasan seksual terdiri dari pelecehan seksual dan perkosaan. Sangat sulit memperoleh informasi tentang kekerasan seksual yang terjadi seluruh lokasi penelitian, baik dari aparat desa maupun aparat kecamatan serta tokoh-tokoh masyarakat yang sudah tua, karena masalah ini merupakan “aib” bagi keluarga dan lingkungan desa, sehingga informasi lebih tertutup. Sementara dari peserta FGD dan informan yang usinya masih muda (dibawah 30 tahun) lebih terbuka, mereka menyatakan ada beberapa kasus terjadi didesa mereka maupun di desa lain, namun kasusnya ditutup-tutupi dan diselesaikan dalam lingkup keluarga saja.

B. Pernikahan dini Anak Perempuan
Anak perempuan dianggap sebagai “asset” yang sangat berharga dan harus menjaga nama baik keluarga. Orang tua akan sangat bangga ketika anak gadisnya dipinang oleh keluarga lain dengan acara yang lengkap. Di masa lalu, pertunanganan dilakukan ketika anak masih dalam usia yang sangat muda bahkan ada yang masih dalam kandungan. Kondisi seperti ini masih ada walau tidak banyak lagi terutama diperkotaan. Menurut para informan, seorang anak perempuan lebih sulit untuk menentukan hak reproduksinya terutama dalam hal menikah. Berbeda dengan anak laki-laki yang lebih punya pilihan kapan dan dengan siapa akan menikah. Sebagian besar anak perempuan akan dinikahkan oleh orang tua karena beberapa faktor, antara lain:
• usia dianggap sudah cukup matang menurut kebiasaan masyarakat setempat disertai dengan tanda-tanda “kewanitaan” bagi anak perempuan sudah tampak secara kasat mata.
• disegerakan menikah untuk menjaga nama baik keluarga
• untuk mengurangi beban keluarga (faktor ekonomi), karena ketika menikah maka tanggung jawab anak perempuan akan berpindah kepada suami.
• untuk mengikat tali persaudaraan atau rumpun keluarga (Mado)
• sudah hamil karena hubungan diluar nikah (kehamilan tak diinginkan), meski penyebabnya adalah kekerasan seksual namun penyelesaiannya lebih sering dinikahkan meski tidak dengan orang yang menyebabkan kehamilan.
Jika usia anak perempuan belum mencapai 16 tahun sesuai persyaratan undang-undang perkawinan, maka sering terjadinya pemalsuan usia anak perempuan oleh keluarga dan disahkan oleh pejabat berwenang ditingkat desa atau kelurahan.
Saat ini, usia yang dianggap pantas untuk menikah bagi perempuan menurut para responden dan informan seharusnya diatas usia 20 tahun, walaupun hasil wawancara dan FGD menunjukkan masih banyak anak perempuan yang menikah dibawah 18 tahun, untuk memperlancar administrasi pernikahan biasanya usia dalam Akta Nikah direkayasa atau dinikahkan jika ada surat izin dari orang tua dan surat keterangan tidak keberatan dari anak perempuan tersebut. Berdasarkan angket ditemukan responden yang menikah pada usia 13 tahun (0.5%), 14 tahun (0,9%), 15 tahun (5,5%), 16 tahun (4,1%), dan 17 tahun (3,7%).
Sebenarnya batasan ini mengacu ketentuan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tetapi bertentangan dengan Undang-undang tentang Perlindungan Anak. Umumnya perkawinan pada usia muda tersebut mempunyai dampak yang kurang baik terhadap kesehatan dan keberlangsungan keluarga tersebut dalam mengurus anak dan tanggung jawab dalam adat dan agama.
Beberapa contoh dampak perkawinan pada usia dini dan pernikahan yang dipaksanakan menurut informan adalah:
Di sini juga ada anak perempuan yang dipaksa oleh orangtuanya untuk menikah, setelah seminggu menikah akhirnya anak perempuan tersebut bunuh diri. (FGD, Sirombu/29-01-08)

Dampak nikah muda, keluarga itu gak harmonis lagi, KB sekarang gak bisa dikendalikan karena masih darah muda, jadi punya anak terus apalagi suami istri itu gak ada kerja makanya la sering berantam, anaknya ngak ada, ngak ada lagi perhatian orang tua. Pagi-pagi orang tua sudah berangkat kerja tinggal anaknya beres-beres sendiri, kalo mau sekolah sekolah lah cari sendiri bajumu, karena saya sudah pengalaman sendiri dan sudah liat sendiri, (Indpeth, Minarti Dachi/02-02-08)

Kebiasaan perjodohan masih ada terjadi, dikota maupun didesa, karena perempuan tidak boleh berdekatan dengan laki-laki, apalagi berpacaran. Hal ini diungkapkan oleh informan yang bertugas melakukan upacara pernikahan, dimana banyak pasangan pengantin yang tidak saling kenal. Dari angket kepada perempuan ditemukan 36,7% responden diminta orang tua untuk menikah dan 0,9% dipaksa orang tua. Dampak terbesar dari pernikahan usia mudah dan pernikahan paksa adalah eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan sebagai istri didalam rumah tangga.



C. Posisi Perempuan Sebagai istri
Terjadinya perkawinan dalam adat Nias dilandasi beberapa alasan, tetapi yang paling dominan adalah untuk melanjutkan keturunan terutama lahirnya anak laki-laki sebagai pewaris keturunan. Asa’aro Laia menegaskan bahwa kehadiran bayi laki-laki merupakan peran untuk melanjutkan keturunan, melanjutkan garis keturunan (mado) serta sebagai penanggung jawab orang tua bila telah uzur (ono fangali mborosisi, ono fangali mbu’u kawono, ono samatohu ngarohua, ono samatohu gogotoa). Dengan pemaknaan yang seperti demikian, maka orang tua yang memiliki anak laki-laki akan mencari calon istri bagi anaknya dengan berbagai cara dan upaya, tanpa menghiraukan ada tidaknya cinta dan kasih sayang di antara calon pengantin.
Istri adalah ibu rumah tangga, oleh sebab itu mempunyai tugas dan kewajiban dalam menjalankan seluruh pekerjaan rumah tangga. Yang dimaksud pekerjaan rumah tangga bagi perempuan Nias (terutama di perdesaan) adalah seluruh pekerjaan yang ada di dalam rumah (mengurus anak, menyiapkan makanan, mencuci dan memasak), pekerjaan disekitar rumah (bertani, mengurus ternak, mengolah hasil pertanian seperti membelah dan menjemur pinang dan biji cacao) serta seluruh pekerjaan yang ada di lahan milik keluarga.
Posisi tawar perempuan sangat rendah, terutama bagi janda (suami meninggal dunia), karena sesudah pernikahan atau perkawinan dirinya dan seluruh harta bawaan (berupa pakaian dan perhiasan) dan harta hasil pencaharian bersama atau perempuan itu sendiri adalah milik keluarga suami. Oleh sebab itu, apabila ada seorang janda akan menikah lagi, maka seluruh harta dan anak-anaknya akan jatuh ketangan pihak keluarga suami.

D. PENUTUP
Pencegahan pernikahan di usia muda perlu dilakukan dengan melakukan langkah-langkah penting ditingkat kebijakan pemerintah daerah, organisasi budaya dan lembaga keagamaan. Secara Nasional diperlukan adanya revisi terhadap Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama-sama sejumlah organisasi gerakan perempuan pernah mengajukan revisi terhadap UU Perkawinan. Beberapa permasalahan pokok yang usulkan untuk direvisi antara lain; 1) Pendewasaan usia perkawinan di atas 18 tahun, dengan tidak membedakan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki, 2) Prinsip non diskriminasi dalam pencatatan perkawinan, di unit-unit di bawah naungan Departemen Agama, 3) Prinsip non-diskriminasi juga diterapkan terhadap hak dan kewajiban bagi perempuan dan laki-laki, 4) Hak dan status anak yang dilahirkan di luar hubungan pernikahan tetap memiliki hak dan status yang sama dengan anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan secara perdata.Usulan dan gagasan yang telah diajukan sangat penting untuk terus didorong agar menjadi regulasi baru dalam penanganan perkawinan di Indonesia untuk menyelamatkan hak reproduksi anak-anak terutama anak perempuan.

Salam Penulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Tinggalkan Pesan/Do not forget to leave your message: