Stop Buruh Anak

Stop Buruh Anak

Senin, April 25, 2011

PKPA FOUNDATION

PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
(CENTER FOR STUDY AND CHILD PROTECTION)

A. ABOUT PKPA
Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA)/Center for Study and Child Protection is a non profit organization (institution) with Notarial Certificate No. 65 Dated 30 June 1998: Djaidir, SH Notary Office which was revised in accordance with Law on Institution with Notarial Certificate No. 13 Dated 19 December 2006: Syamsurizul Akbar Bispo, SH Notary Office which was endorsed by Department of Justice and Human Rights of the Republic of Indonesia with registration No. AHU-4047.AH.01.02.Year 2008. PKPA’s base is in Medan, Indonesia.

Vision : For the implementation of the best interests of the child
Mission : Advocacy for possible policy changes for child well-being and protection and implementation of the rights of the child.

B. MAIN PROGRAM
PKPA is working for child and youth issues, especially for the children that needed special protection. The main program of PKPA in present time are :

1) Advocacy:
Giving the services to child and youth in law process and access to get justice, the children that become the victim and prisoners of violence cases are oftenly get unhumane treatment from the law officers, especially the children from poor family. PKPA also doing the advocacy of local and national regulation to guarantee of fulfillness of the child right according to the International Instrument of Human Rights.

2) Access to the Base Education and Youth Economic Empowerment.
Children form the slum area, remote area, street children, and children with special needed have very low education level, and it is very difficult to get the base education access. The PKPA’s programs are, opening the class for kindergaten from 2 – 5 years old, scholarship support for the base education access for 6 – 15 years old, vocational training and enterpreneurship for drop out children for 13 – 18 years old.

3) Promoting and Awareness of Child Right
The high number of fisical sexual violence to the children and youth in household, school, and public, impacted to the growth of the children, continuous trauma, and isolated from society and trafficking. To do the promotion and awareness raising of the rchild right to the community, PKPA developing the peer educator program for teenagers, formulating the child and youth organization, campaign through the child movie, proletariat theater, child right training to the jurnalist and Civil Society organization.

4) Emergency Respon and DRR Program
The humanitarian mission for emergency respon and disaster awareness are focused on children and youth. PKPA have done the emergency respons in many areas in Indonesia since 2003. The services are including the psycosocial, education rehabilitation, base health services and child protection. PKPA also doing the education of disaster awareness base on school, this programm are developed in North Sumatera, Nias island and Aceh.

C. INTERNATIONAL & NATIONAL AFFILIATION NETWORKS
1. ECPAT International, Bangkok
2. Regional Working Group on Child Labor (RWG-CL), Bangkok
3. Global Alliance Against Trafficking in Women (GAATW), Bangkok
4. Jaringan Advokasi Pekerja Anak (JARAK)-Indonesia
5. Forum Belajar Capacity Building (FBCB)-Sumatra
6. National Coalition for the Elimination of CSEC
7. National Coalition for Civil Society-Indonesia
8. Provincial Task Force for the Elimination of Trafficking in Children and Women

D. EXPERIENCE IN WORKING WITH INTERNATIONAL & NATIONAL ORGANIZATION
1. Ford Foundation and PPK of Gajah Mada University: 2000
2. International Organization for Migration (IOM): 2005-2006
3. Australian Government: 2009-2010.
4. Oxfam International: 2008 - 2009.
5. National Coalition for the Elimination of CSEC: 2010/2011
6. Kindernothilfe-Gemany: 2006-2013
7. ILO-IPEC: 2010-2011
8. Brot for The World-Germany, 2002-2006
9. Lutheran World Relief (LWR), 2008 – 2012
10. Etc

E. Capacity and resources
1. Permanent office in Medan as centre office with complete facilities, supported by professional staff from many background education, religion, etnic and gender.
2. Branch office in Nias Island, Banda Aceh and Simeulue Island.
3. Special building for children creative center in poor community.
4. Standard Operational Procedure (SOP) and ethical Code that manage the management and operational organization.
5. Yearly audit and independent financial evaluation and program by public accountan.

F. FOR MORE INFORMASTION, PLEASE CONTACT US:
Misran Lubis (External Director).
5th -A Abdul Hakim Street , Pasar I Setia Budi, Medan, North Sumatera, Indonesia. Post Code: 20132
Phone: 061. 8211117, Fax: 061. 8213009
Email: pkpamdn@indosat.net.id, pkpamdn@gmail.com, lubiscom@yahoo.com
Webiste : www.pkpa-indonesia.org

Rabu, April 20, 2011

PELATIHAN HAM BAGI JURNALIS

PELATIHAN HAM-ANAK BAGI OMS DAN JURNALIS
DI KEPULAUAN NIAS
GUNUNGSITOLI, 16 – 18 DESEMBER 2010

A. PENDAHULUAN
________________________________________
Bagi sebagian anak-anak, bisa masuk koran atau televisi sungguh menyenangkan. Tapi

bagi perkembangan jiwa anak-anak, kehadiran mereka di media massa, seperti kasus anak-anak Ahmad Dani, tentu bukanlah sesutau yang positif. Bagi, Al,El dan Dul, masuk televisi membuat mereka menjadi bagian dari incaran media massa. Bahkan kisah mereka tak kalah heboh dengan cerita rumah tangga orang tua mereka sendiri.
Disisi lain peran media tidak kalah pentingnya degan peran aktivitas pembela Hak-hak anak. Berbicara tentang media/jurnalis dan hak asasi manusia khususnya hak anak, sedikitnya ada dua peran yang bisa dimainkan; Pertama adalah peran pendidikan. media dapat meng-edukasi masyarakat, meningkatkan pemahaman mengenai hak anak dengan menyediakan informasi soal hak anak. Media juga dapat menancapkan nilai-nilai dan sikap dengan mempromosikan kultur hak asasi manusia, serta mendorong warga negara untuk mempertahankan dan membela hak asasinya dari berbagai bentuk pelanggaran oleh negara.
Kedua adalah peran monitoring. Cara ini bisa dilakukan dengan memantau kinerja negara (pemerintah) dalam menjalankan kewajibannya untuk memenuhi, melindungi dan mempromosikan hak anak, Terutama terhadap implementasi berbagai instrumen internasional seperti Konvensi Ahak Anak, CEDAW dan Intrumen HAM lainnya secara bersamaan.
Kedua peran penting itulah yang agaknya membuat jurnalis ditempatkan dalam posisi sebagai pembela hak asasi manusia (human rights defender) bersama-sama dengan aktivis HAM Lainnya. Namun posisi itu pula yang sering menyebabkan jurnalis juga menjadi korban pelanggaran HAM. Di beberapa tempat di Indonesia sejumlah jurnalis menjadi korban kekerasan aparat ketika menjalankan tugasnya. Namun terkadang problemnya adalah karena ketidakpahaman jurnalis sendiri mengenai persoalan HAM. Singkatnya, ada banyak problem baik yang bersifat internal maupun eksternal yang dihadapi media/jurnalis ketika menjalankan perannya tersebut.
Persoalaan lainnya adalah kehadiran anak-anak sebagai objek media terkadang tidak memperhatikan aspek kepentingan terbaik bagi anak. Dari sini tampaklah adanya kebutuhan untuk lebih mengkonsolidasikan isu hak anak agar dapat di tangani secara bersama-sama antara Media/Jurnalis dengan Aktivis Pembela Hak Anak.


B. Tujuan
________________________________________
Secara khusus pelatihan HAM Anak ini bertujuan:
 Meningkatkan kapasitas media/jurnalis di Nias dalam mengadvokasi kepentingan yang terbaik kepada anak
 Memperkuat Konsolidasi Media/Jurnalis dengan aktivitis pembela HAM-Anak melalui proses pembentukan kesadaran kritis tentang isu-isu tersebut.

C. Output
________________________________________
 Meningkatnya kemampuan analisa sosial dan kemampuan advokasi para peserta pelatihan tentang isu-isu hak anak.
 Munculnya komitmen bersama untuk saling mendukung antara peran media/jurnalis dengan aktifis pembela hak anak dalam mewujudkan kepentingan terbaik anak di Nias.


D. Peserta
________________________________________
Secara khusus, pelatihan ini dirancang untuk:
• para aktivis organisasi masyarakat sipil (OMS) yang melakukan advokasi HAM secara umum dan khususnya hak anak.
 Para jurnalis media massa baik cetak maupun elektronik yang melakukan peliputan di wilayah kepulauan Nias.
 Total peserta dari kedua unsure organisasi tersebut sebanyak 25 orang, pemilihan peserta akan memperhatikan keterwakilan laki-laki dan perempuan.

E. Materi dan Metode Pelatihan
________________________________________
Materi Utama Pelatihan:
• KHA (konvensi hak anak) sebagai instrument pemenuhan, pembelaan dan promosi hak-hak anak di Indonesia.
• Study kasus: Kekerasan dan Pelanggaran hak anak di pulau Nias periode 2005 – 2010
• Persepsi Media/Jurnalis tentang anak sebagai sumber/objek pemberitaan
• Pemahaman tentang Undang-undang Pers dank ode etik jurnalis
• Belajar bersama liputan issu anak : Pendidikan, Kesehatan, Kekerasan, Hukum/Kriminal dan Budaya.
• Peran media/jurnalis sebagai pembela hak asasi manusia (khusus hak anak)

Metode Pelatihan:
Pada dasarnya pelatihan ini menggunakan pendekatan pendidikan orang dewasa (Andragogy). Peran peserta dalam pelatihan ini akan didorong lebih utama untuk saling belajar antara satu dengan lainnya. Beberapa teknik yang akan digunakan dalam pelatihan ini adalah:
• Ceramah dan Tanya Jawab
• Diskusi Kelompok
• Role play
• Belajar bersama (learning together)

F. Fasilitator dan Narasumber
________________________________________
Fasilitator :
1) Rika Yos (AJI Medan)
2) Co. Misran Lubis (PKPA-Medan)

Narasumber Lokal: Kak Ester (Anggota PWI Nias)

G. Waktu dan Tempat Kegiatan
Hari/Tanggal : Kamis-Sabtu/16 – 18 Desember 2010
Lokasi : Aula Hotel Vera, Gunung Sitoli

H. Proses Pelatihan
Pelatihan dilaksanakan selama 3 hari yang di mulai dari tanggal 16 – 18 desember 2010 di mulai pukul 09.30 wib. Pelatihan tersebut dibuka oleh Misran Lubis selaku Fasilitator dari PKPA.
Pada hari pertama peserta di berikan pemahaman tentang Instrumen Internasional CRC (Convention on the Right of the Child). Setelah itu peserta di minta untuk mendiskusikan beberapa topik yaitu Persepsi Media/Jurnalis tentang anak sebagai sumber/objek pemberitaan dan Study kasus: Kekerasan dan Pelanggaran hak anak di pulau Nias periode 2005 – 2010, yang mana diskusi tersebut dilakukan secara berkelompok.

Pada hari kedua peserta di pandu oleh Mbak Rika dari AJI Medan. Peserta juga mendapatkan materi mengenai peran media di kepulauan nias dalam peliputan permasalahan anak (kasus anak) dari Esther Pasaribu utusan PWI Nias, setelah itu peserta diminta untuk mendiskusi secara berkelompok beberapa topik diskusi yaitu Peran media/jurnalis sebagai pembela hak asasi manusia (khusus hak anak) dan Belajar bersama liputan issu anak sector Pendidikan, Kesehatan, Kekerasan, Hukum/Kriminal dan Budaya.

Pada tanggal 18 Desember 2010 yang merupakan hari terakhir pelatihan, maka para peserta diberikan materi mengenai Pemahaman tentang Advokasi dan kemudian melakukan diskusi kelompok dengan topik Mencari titik temu kepentingan dan tujuan advokasi: Apa yang dilakukan aktifis OMS dan Apa yang dilakukan Media/Jurnalis. Dan sebagai penutup dari kegiatan para peserta merumuskan suatu kesepakatan bersama mengenai peran dan fungsi dari OMS dan Jurnalis untuk menyuarakan HAM anak

Gunungsitoli, 20 Desember 2010

Supported by: Kindernothilfe

PERNIKAHAN DINI DI PULAU NIAS

KEKERASAN TERHADAP ANAK PEREMPUAN
& PERNIKAHAN DINI di PULAU NIAS
Oleh: Misran Lubis (Kord. Divisi Litbang PKPA)


Dampak nikah muda, keluarga itu gak harmonis lagi, KB sekarang gak bisa dikendalikan karena masih darah muda, jadi punya anak terus apalagi suami istri itu gak ada kerja makanya la sering berantam, anaknya kurang pendidikan, ngak ada lagi perhatian orang tua. Pagi-pagi orang tua sudah berangkat kerja tinggal anaknya beres-beres sendiri, kalo mau sekolah sekolah lah cari sendiri bajumu, karena saya sudah pengalaman sendiri dan sudah liat sendiri masalah seperti itu dikampung, (Indpeth, Minarti Dachi/02-02-08)

Sepenggal kutipan yang dituturkan salah seorang perempuan Nias dalam sesi diskusi, ia mengisahkan bagaimana keadaan keluarga yang menikah diusia muda, seringa terjadi kekerasan dan pemenuhan hak-hak anak juga terabaikan. Anak perempuan yang menjadi korban kekerasan harus menerima dampak berkelanjutan karena keadilan terhadap penyelesaian masalah belum berpihak pada korban. Mereka harus rela terasing dari keluarga dan lingkungan sosial karena dianggap telah membuat “aib” di keluarga dan masyarakat. Pada bidang hukum, kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan juga belum menjadi perhatian serius. Berbagai alasan dikemukan oleh aparat penegak hukum seperti jarak atau lokasi terjadinya kasus, kesulitan menghadirkan saksi dan alat bukti sehingga memperkuat alasan untuk “mendiamkan” kasus-kasus tersebut dan kemudian menyarankan untuk diselesaikan melalui musyawarah atau kekeluargaan.
Tahun 2008 lalu, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) melakukan sebuah kajian di untuk mendalami fenomena kekerasan terhadap anak dan perempuan serta pernikahan dini dipulau Nias. Metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran umum permasalahan di lokasi penelitian. Sementara metode kualitatif dimaksudkan untuk lebih mendalami pemahaman terhadap fenomena tertentu dengan menggunakan wawancara mendalam, observasi terfokus dan focus group discussion (FGD).
Penelitian ini dilakukan di 5 desa dan 1 kelurahan yang berada di 3 kecamatan, yaitu Gunung Sitoli, Sirombu dan Tuhemberua, Kabupaten Nias. Jumlah sample penelitian adalah: 1) Informan kunci berjumlah 41 orang ( 30 orang laki-laki dan 11 orang perempuan) terdiri dari tokoh-tokoh Desa, Kecamatan, dan Kabupaten dari berbagai bidang pekerjaan dengan usia berkisar antara 19 – 70 tahun. 2) Responden terdiri atas dua kelompok sasaran yaitu anak dan perempuan dewasa. Responden anak berjumlah 278 orang dan Perempuan dewasa berjumlah 218 orang dengan rincian: belum menikah: 69 orang, janda: 12 orang dan yang masih bersuami 137 orang.

Temuan Lapangan

A. Kekerasan Terhadap Perempuan
Bentuk kekerasan yang dikenal masyarakat daerah penelitian dominan kekerasan fisik, hal ini ditandai dengan adanya luka-luka atau kondisi yang dapat dilihat secara langsung. Bentuk kekerasan lain seperti kekerasan verbal, walaupun dianggap bentuk kekerasan tetapi dianggap hal yang lumrah diterima perempuan terutama jika yang melakukan adalah suami atau orangtua (terutama bagi perempuan belum menikah). Masih berkembang asumsi di masyarakat bahwa jika kekerasan yang terjadi akibat kesalahan korban, maka memang pantas diberi hukuman (pukulan, maki-maki dan sebagainya), Bagi penganut Islam, Surat An-Nisa ayat 34 diartikan bahwa laki-laki boleh menghukum perempuan dengan melakukan kekerasan. Padahal jelas ayat tersebut memuat adanya tindakan yang secara bertahap kepada perempuan, jika perempuan tersebut melakukan kesalahan.
Kasus-kasus kekerasan seksual seperti perkosaan hanya beberapa yang dilaporkan ke Polsek atau Polres. Kekerasan ekonomi tidak dianggap merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan baik istri maupun anak perempuan karena perolehan atau pendapatan keluarga dianggap merupakan tanggungjawab bersama untuk memenuhi kebutuhan keluarga termasuk hutang-hutang untuk membayar jujuran. Dalam masyarakat Nias ada ungkapan “WARA HA SANORĂ– IDANO SAATĂ–” yang artinya jika menyeberang sungai, basah juga. Hal ini menjadi pegangan bagi perempuan yang menjadi istri, semua beban yang dipikul suami, istri harus ikut menanggungkannya.
Data yang dapat dihimpun dari Polres, Polsek dan lembaga yang melakukan pendampingan kepada korban sejak tahun 2005-2007 adalah 189 kasus, 27% diantara adalah kasus kekerasan seksual. Sementara kasus terbesar adalah kekerasan fisik yakni 59%. Kasus-kasus lainnya adalah kekerasan psikis 9%, kekerasan ekonomi 1 % dan trafficking 4%. Kekerasan seksual lebih banyak terjadi pada anak perempuan, kekerasan seksual terdiri dari pelecehan seksual dan perkosaan. Sangat sulit memperoleh informasi tentang kekerasan seksual yang terjadi seluruh lokasi penelitian, baik dari aparat desa maupun aparat kecamatan serta tokoh-tokoh masyarakat yang sudah tua, karena masalah ini merupakan “aib” bagi keluarga dan lingkungan desa, sehingga informasi lebih tertutup. Sementara dari peserta FGD dan informan yang usinya masih muda (dibawah 30 tahun) lebih terbuka, mereka menyatakan ada beberapa kasus terjadi didesa mereka maupun di desa lain, namun kasusnya ditutup-tutupi dan diselesaikan dalam lingkup keluarga saja.

B. Pernikahan dini Anak Perempuan
Anak perempuan dianggap sebagai “asset” yang sangat berharga dan harus menjaga nama baik keluarga. Orang tua akan sangat bangga ketika anak gadisnya dipinang oleh keluarga lain dengan acara yang lengkap. Di masa lalu, pertunanganan dilakukan ketika anak masih dalam usia yang sangat muda bahkan ada yang masih dalam kandungan. Kondisi seperti ini masih ada walau tidak banyak lagi terutama diperkotaan. Menurut para informan, seorang anak perempuan lebih sulit untuk menentukan hak reproduksinya terutama dalam hal menikah. Berbeda dengan anak laki-laki yang lebih punya pilihan kapan dan dengan siapa akan menikah. Sebagian besar anak perempuan akan dinikahkan oleh orang tua karena beberapa faktor, antara lain:
• usia dianggap sudah cukup matang menurut kebiasaan masyarakat setempat disertai dengan tanda-tanda “kewanitaan” bagi anak perempuan sudah tampak secara kasat mata.
• disegerakan menikah untuk menjaga nama baik keluarga
• untuk mengurangi beban keluarga (faktor ekonomi), karena ketika menikah maka tanggung jawab anak perempuan akan berpindah kepada suami.
• untuk mengikat tali persaudaraan atau rumpun keluarga (Mado)
• sudah hamil karena hubungan diluar nikah (kehamilan tak diinginkan), meski penyebabnya adalah kekerasan seksual namun penyelesaiannya lebih sering dinikahkan meski tidak dengan orang yang menyebabkan kehamilan.
Jika usia anak perempuan belum mencapai 16 tahun sesuai persyaratan undang-undang perkawinan, maka sering terjadinya pemalsuan usia anak perempuan oleh keluarga dan disahkan oleh pejabat berwenang ditingkat desa atau kelurahan.
Saat ini, usia yang dianggap pantas untuk menikah bagi perempuan menurut para responden dan informan seharusnya diatas usia 20 tahun, walaupun hasil wawancara dan FGD menunjukkan masih banyak anak perempuan yang menikah dibawah 18 tahun, untuk memperlancar administrasi pernikahan biasanya usia dalam Akta Nikah direkayasa atau dinikahkan jika ada surat izin dari orang tua dan surat keterangan tidak keberatan dari anak perempuan tersebut. Berdasarkan angket ditemukan responden yang menikah pada usia 13 tahun (0.5%), 14 tahun (0,9%), 15 tahun (5,5%), 16 tahun (4,1%), dan 17 tahun (3,7%).
Sebenarnya batasan ini mengacu ketentuan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tetapi bertentangan dengan Undang-undang tentang Perlindungan Anak. Umumnya perkawinan pada usia muda tersebut mempunyai dampak yang kurang baik terhadap kesehatan dan keberlangsungan keluarga tersebut dalam mengurus anak dan tanggung jawab dalam adat dan agama.
Beberapa contoh dampak perkawinan pada usia dini dan pernikahan yang dipaksanakan menurut informan adalah:
Di sini juga ada anak perempuan yang dipaksa oleh orangtuanya untuk menikah, setelah seminggu menikah akhirnya anak perempuan tersebut bunuh diri. (FGD, Sirombu/29-01-08)

Dampak nikah muda, keluarga itu gak harmonis lagi, KB sekarang gak bisa dikendalikan karena masih darah muda, jadi punya anak terus apalagi suami istri itu gak ada kerja makanya la sering berantam, anaknya ngak ada, ngak ada lagi perhatian orang tua. Pagi-pagi orang tua sudah berangkat kerja tinggal anaknya beres-beres sendiri, kalo mau sekolah sekolah lah cari sendiri bajumu, karena saya sudah pengalaman sendiri dan sudah liat sendiri, (Indpeth, Minarti Dachi/02-02-08)

Kebiasaan perjodohan masih ada terjadi, dikota maupun didesa, karena perempuan tidak boleh berdekatan dengan laki-laki, apalagi berpacaran. Hal ini diungkapkan oleh informan yang bertugas melakukan upacara pernikahan, dimana banyak pasangan pengantin yang tidak saling kenal. Dari angket kepada perempuan ditemukan 36,7% responden diminta orang tua untuk menikah dan 0,9% dipaksa orang tua. Dampak terbesar dari pernikahan usia mudah dan pernikahan paksa adalah eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan sebagai istri didalam rumah tangga.



C. Posisi Perempuan Sebagai istri
Terjadinya perkawinan dalam adat Nias dilandasi beberapa alasan, tetapi yang paling dominan adalah untuk melanjutkan keturunan terutama lahirnya anak laki-laki sebagai pewaris keturunan. Asa’aro Laia menegaskan bahwa kehadiran bayi laki-laki merupakan peran untuk melanjutkan keturunan, melanjutkan garis keturunan (mado) serta sebagai penanggung jawab orang tua bila telah uzur (ono fangali mborosisi, ono fangali mbu’u kawono, ono samatohu ngarohua, ono samatohu gogotoa). Dengan pemaknaan yang seperti demikian, maka orang tua yang memiliki anak laki-laki akan mencari calon istri bagi anaknya dengan berbagai cara dan upaya, tanpa menghiraukan ada tidaknya cinta dan kasih sayang di antara calon pengantin.
Istri adalah ibu rumah tangga, oleh sebab itu mempunyai tugas dan kewajiban dalam menjalankan seluruh pekerjaan rumah tangga. Yang dimaksud pekerjaan rumah tangga bagi perempuan Nias (terutama di perdesaan) adalah seluruh pekerjaan yang ada di dalam rumah (mengurus anak, menyiapkan makanan, mencuci dan memasak), pekerjaan disekitar rumah (bertani, mengurus ternak, mengolah hasil pertanian seperti membelah dan menjemur pinang dan biji cacao) serta seluruh pekerjaan yang ada di lahan milik keluarga.
Posisi tawar perempuan sangat rendah, terutama bagi janda (suami meninggal dunia), karena sesudah pernikahan atau perkawinan dirinya dan seluruh harta bawaan (berupa pakaian dan perhiasan) dan harta hasil pencaharian bersama atau perempuan itu sendiri adalah milik keluarga suami. Oleh sebab itu, apabila ada seorang janda akan menikah lagi, maka seluruh harta dan anak-anaknya akan jatuh ketangan pihak keluarga suami.

D. PENUTUP
Pencegahan pernikahan di usia muda perlu dilakukan dengan melakukan langkah-langkah penting ditingkat kebijakan pemerintah daerah, organisasi budaya dan lembaga keagamaan. Secara Nasional diperlukan adanya revisi terhadap Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama-sama sejumlah organisasi gerakan perempuan pernah mengajukan revisi terhadap UU Perkawinan. Beberapa permasalahan pokok yang usulkan untuk direvisi antara lain; 1) Pendewasaan usia perkawinan di atas 18 tahun, dengan tidak membedakan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki, 2) Prinsip non diskriminasi dalam pencatatan perkawinan, di unit-unit di bawah naungan Departemen Agama, 3) Prinsip non-diskriminasi juga diterapkan terhadap hak dan kewajiban bagi perempuan dan laki-laki, 4) Hak dan status anak yang dilahirkan di luar hubungan pernikahan tetap memiliki hak dan status yang sama dengan anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan secara perdata.Usulan dan gagasan yang telah diajukan sangat penting untuk terus didorong agar menjadi regulasi baru dalam penanganan perkawinan di Indonesia untuk menyelamatkan hak reproduksi anak-anak terutama anak perempuan.

Salam Penulis

Selasa, April 19, 2011

Schoolarchip Project

PROGRAM SCHOOLARSHIP-NIAS
KERJASAMA PKPA DAN CIFA-ITALY

“TERIMA KASIH KEPADA MASYARAKAT ITALY DAN JUGA CIFA”

Hampir empat tahun telah berjalan program scholarship untuk anak-anak Nias dari Masyarakat Italy yang disalurkan melalui CIFA bermitra dengan PKPA sebagai mitra di Indonesia. Program ini dimulai tahun 2008. Ditengah ketidak pastian iklim ekonomi pasca bencana di Nias dan terbatasnya sumber pendapatan kaum miskin karena mahalnya harga kebutuhan pokok, namun 26 anak yang memperoleh dukungan pembiyaan sekolah, kesehatan dan kegiatan-kegiatan kreatif melalui PKPA terlepas dari ancaman drop out sekolah. Mereka masih tersenyum menatap masa depan dengan segala mimpi-mimpi kesuksesan dimasa yang akan dating ketika merka dewasa. Melalui PKPA, para penerima scholarship dan keluarganya menyampaikan salam:


DAFTAR ANAK PENERIMA BEASISWA
1. SULFIANSYAH ZEBUA
2. HAMEDONI HARITA
3. KALVIN HIDAYAT WARUWU
4. PUTRI NADA MANIS HARITA
5. IJUL KURNIANSYAH ZEBUA
6. MUKLISIN HULU
7. OPI HENDA PUTRA WARUWU
8. SENIMAWATI HULU
9. DEVI LINA ZAI DEVI
10. ERNI WATI NEHE ERNI
11. AGUSMAN HALAWA
12. PRISKAWINI
13. AGUSTINA NEHE
14. MARKUS SALIN FAU
15. AZOZATULO NEHE
16. EKA KRISTIANI SARUMAHA
17. YUNILIA NEHE
18. BERLINA ZAGOTO
19. ALEXFIAN FAU
20. ELIUJAS LAIA
21. YANUARDIN LASE
22. LENI SURYANI
23. ERNAYANTI NEHE
24. YUSNIDAR WARUWU
25. ASMAWATI
26. ROHIMA LUBIS

Profil Salah seorang anak penerima beasiswa:
Ijul Kurniansyah Zebua (SMP)

Ijul adalah sosok anak pendiam, punya hobby bermain tennis meja dan dia ingin menjadi pemain tenis meja yang handal. hal ini dibuktikannya dengan mengikuti latihan tenis meja di beberapa tempat dengan jadwal yang tidak teratur karena dia juga harus membantu orang tuanya. dia ingin sekali memiliki sebuah fasilitas tenis meja supaya bisa latihan dengan rutin. Dia anak yang suka dengan pelajaran berhitung dan sejarah. Di sekolah dia mendapat rengking II sewaktu masih duduk di bangku kelas VII dan prestasinya meningkat ketika kelas VIII dia mendapatkan rengking I di kelasnya dan dia tetap bisa mempertahankan prestasinya ini hingga saat ini. peningkatan prestasinya ini disebabkan karena sejak menerima beasiswa dari CIFA Italy buku-buku cetak yang dimintanya dipergunakan sebaik-baiknya, bukan hanya sekedar dibeli saja, tapi setelah semua kegiatannya selesai dia membaca dan mengerjakan tugas dari sekolah. cita-cita Ijul adalah ingin menjadi seorang pengusaha yang sukses dan kelak bisa membahagiakan kedua orang tuanya. kegiatan Ijul sepulang dari sekolah adalah membantu orang tuanya khususnya ibunya seperti mencuci piring, memasak nasi, dan juga memasak kerupuk untuk es kriem mereka. kadang juga Ijul turut menjual es krim sepulang dari sekolah apabila ayahnya sedang sakit ataupun lelah karena seharian berjualan es kriem. selain itu, ijul juga mengikuti organisasi anak bale ono niha yang didampingi oleh PKPA.

Keluarga IJUL
Ayah Ijul bernama Nasruddin Zebua, umur 43 Tahun. Sehari-hari pekerjaannya adalah menjual es krim dengan pendapatan tidak tetap. Kadang pendapatannya hanya Rp 80 ribu/hari ataupun kurang dari itu. Ibunya bernama Samsiar Tanjung, umur 39 tahun, sosok ibu yang sabar dan bijak, pekerjaan sehari-harinya sebagai ibu rumah tangga yang juga membantu ekonomi keluarga dengan memasak kerupuk es krim untuk dijualkan kepada pelanggan. harga kerupuk es krim tersebut per paknya adalah Rp 20000. mereka menempati sebuah rumah papan yang dibangun di atas tanah sewa. biaya sewa tanah yang mereka tempati adalah Rp 1 juta pertahunnya. Orang tua Ijul sangat berterimakasih dengan adanya program beasiswa orang tua asuh ini. mereka ingin sekali melihat wajah dari orang tua asuh anaknya yang di Italy. (Fitri/2010).

SUMMARY OF PKPA NIAS PROJECT 2009-2011

SUMMARY OF PKPA NIAS PROJECT 2009-2011
Title of Project: PKPA’s child rights program
Donors : Kindernotholfe-Germany
Project Period : 3 Years (2009-2011)


Geographically, Nias Island is part of North Sumatra Province. It is on the western part of Sumatra Island and is on Indian Ocean. In 2003, Nias Island was divided into two districts i.e. the District of Nias with Gunung Sitoli as its capital and the District of South Nias with Teluk Dalam as its capital. Since geographically Nias Island is separated from North Sumatra’s mainland, its physical and human resource developments are left behind compared to other areas in the province. People in Nias Island tend to be ignored and marginalized. Therefore, their economic, education, health and infrastructures are left behind. These situations only revealed to public after the 2004 tsunami and 2005 earthquake.

The population in Nias is 800 thousands people. Most of its populations (about 85%) are Niasnese while the rests are Acehnese, Minangnese, Bataknese and Chinese. Most of its populations (about 93%) are Christian, Moslem (6%) and Buddhist and Hindus (1%). Most of its inhabitants work as traditional farmers and fishermen and are not involved in family income generating programs. There are many isolated villages in Nias. Since these villages can be reached neither by car nor motorbike people have to walk 2-10 kilometers away to get access to traditional market, school and public health center. Nias Island is the poorest area in North Sumatra Province. The highest number of poor people is in the District of South Nias. It is known that nearly 92% of 278,722 people in the district live under the poverty line. Meanwhile, the District of Nias places the fifth poorest districts out of 25 districts/cities in North Sumatra.

There are still many questions and doubts about the future of Nias after the completion of programs implemented by the Rehabilitation and Reconstruction Agency for Aceh and Nias (BRR NAD-Nias). The Rehabilitation and Reconstruction Agency will officially end its programs on 30 November 2008. The doubts of many parties about the future of Nias are very realistics as the Local Government is still lack of experience in managing expensive and modern reconstruction assets built by BRR and other humanitarian organizations. Therefore, the Head of the District of Nias hoped that the Central Government, the Provincial Government and humanitarian organizations could help them continue the recovery and reconstruction programs in Nias, especially to improve its human resources.

Government’s development policy in the future will be focused on two main agendas, namely:
a. Re-structurization of local government system after the completion of BRR’s programs and the breaking up of Nias into three districts, namely: the District of West Nias, the District of North Nias and Gunung Sitoli Municipality: The Central Government officially approved the breaking up of these new districts on 30 October 2008.
b. General Election 2009: There will be national leadership and parliament membership changes throughout the country after the General Election. This situation, of course, will influence the performance and concentration of government officials in the country. Consequently, local issues such as child health and education as well as violence against women are tended to be ignored while national political issues will receive greater attention. This may cause social conflict.

Due to acute poverty in Nias, children’s basic rights are often violated. The lack of opportunity to get access to school and high number of malnutrition cases, for example, have forced Nias children to work within and outside Nias Island such as in Sibolga and Medan. They work on streets, in plantations, marine sectors or harbors to survive although they have to work very hard like an adult. Children aged of 7 – 18 years who could not access schools are involved in livelihood activities of families. Rapid assessment on the situations and conditions of child labor in Nias conducted by PKPA and ILO-IPEC in 2006 showed that children aged 6-15 years were involved in the domestic and public sectors like collecting sand, breaking stones, pedicab driver, scavenger, working in rubber plantation and fishing sector.

Other serious problem faced by children in Nias was the increasing number of physical and sexual abuse as well as child marriage cases. From 2006 to October 2008, the number of cases of child abuse and violence reported to PKPA and police tends to increase. For example, PKPA-Nias only handled 5 child cases in 2006 and the number of cases handled by PKPA increased sharply to 23 cases in 2007 and 30 cases in 2008. These figures still excluded 83 cases in which children were offenders.

There were some factors that led to the high number of child right violations in Nias Island such as 1) Cultural factor considering children as an economic asset of family and gender discriminations between men and women. This has resulted in child exploitation and discrimination, 2) Local government’s policy which does not prioritize child issues in government’s development agenda; and 3) The lack of society-based organizations’ attention to child abuse and economic exploitation cases.

III. Strategic program plan
A long-term strategic program plan is needed to enable us to build the capacity of the local governments, communities and non government institutions so that they will be able to realize the best interests of the child. Referring to the National Program for Indonesian Children 2015, especially for Nias, at least it will take us until 2020 to create “a world fit for children” in the island. To enable us to achieve this long-term goal, PKPA designed a short-term program for 2009-2011 covering the following areas.
a) Prevention and elimination of child abuse and sexual exploitation
b) Awareness raising of adolescent reproductive health and increasing age of consent for marriage among girls
c) Elimination of the worst forms of child labor, especially in fishing, domestic work and home industry sectors
d) Increasing the participation of non governmental organizations and communities in implementing children’s rights
e) The improvement of mothers’ and children’s health

Based on the outputs of assessment conducted by PKPA and PKPA’s strategic planning meeting, following are strategic programs to address child issues in Nias Island:
1. Developing local strategic plan for the elimination of child labor and enhancing public understanding about child labor situations, the negative impacts of working on children, national and international legislations and efforts to address child labor. The choice of advocacy program will be based on a careful analysis on the root problems of poverty, the involvement of children in the worst forms of child labor, juvenile delinquency resulting from lack of education as well as community, government and relevant stakeholders’ understanding which is not child sensitive
2. Building the capacity of community-based organizations and organizations providing services for children to enable them to strengthen coordination system and advocate for local policy changes
3. Providing legal aid and social protection services for children in conflict with the law and child victims of abuse and developing referral system
4. Facilitating and empowering child and youth organizations to enable them to participate in advocating development policy changes that respect the best interest of the child
5. Strengthening non formal education institutions to enable them to provide direct supports for school dropouts and pre-school aged children as a pilot project at community level to address poor education in Nias
6. Improving and maintaining database system and child problems to enable us to develop an effective strategy to improve children’s future in Nias Island

PROJECT GOALS
Children in Nias Island are free from all forms of economic exploitation and abuse.

OBJECTIVE OF PROJECT
The objectives of this project are:
1. to prevent children from being involved in the worst forms of child labor, especially in sand and stone mining as well as in fishing sector
2. to provide legal aid and social protection services for children in conflict with the law and child victims of abuse
3. to build the capacity of community-based organizations to enable them to build network for child protection
4. to promote child participation through the empowerment of child and youth organizations

EXPECTED RESULTS
It is expected that the implementation of short-term project for the elimination of child labor and protection of children in conflict with the law and child victims of abuse will contribute to a better future for Nias children. Following are the expected outputs of this project:

1. Local policies on the prevention and elimination of the worst forms of child labor are available in the Districts of Nias and South Nias.
2. Community-based organizations, cultural organizations, local NGOs and child organizations’ understanding about and participation in advocacy works for child protection in Nias Island improves.
3. Children in conflict with the law and child victims of abuse receive legal aid services, social services, psychological services and family reintegration services.
4. Referral systems are developed to enable us to refer child cases to police, hospitals and drop in centers run by community-based organizations.
5. Child and youth participation in supporting PKPA’s works to promote the rights of the child to community and local government of Nias improves.
6. The presence of PKPA in Nias contributes to stronger child protection networks in the island and it becomes a reliable complaint center for Nias people.

TARGET GROUPS
Our main target groups are children aged 0-18 years as defined in the CRC. Currently, there are about 450 children in Nias Island (200 boys and 250 girls). However, to enable us to work with these children, some of these project activities need to be coordinated with other parties that can provide protection to children such as community-based organizations, cultural organizations, faith-based organizations and government institutions

IMPACT ON CHILDREN
Employing children in hazardous places and violations against the rights of children to education have not been yet considered as the violations against children’s rights. This condition is considered as a common phenomenon due to acute poverty and development backwardness. More serious condition is that the high number of child abuse cases such as forced early marriage, physical abuse and rape has not been yet considered as a serious violation against human rights, especially child rights to protection. Both family and community still consider these phenomena as a common practice. The Local Government also has not yet included these problems in its strategic plan for human development.
For children alone, they have to receive these facts due to their powerlessness caused by family and community suppression and servitude to their parents. Doctrines by parents, adults living around the children as well as religious and community leaders have made children have no choice to their rights.
It is hoped that transformation of human rights universal values, especially children’s rights, through various approaches and project strategies will be able to change community and government’s paradigm and enable them to implement children’s basic rights to education, health and protection from all forms of abuse and exploitation as well as stop negative stigma on children’s behaviors which are considered deviate from cultural and social norms and values.
On other side, the involvement and participation of children in the promotion of the rights of the child will help them better understand their normative rights which cannot be deprived by anyone and by any reasons. The establishment of child and youth organization will support them in becoming a peer educator for other children. Children will respect their own rights and demand the responsibility of adults living around them to fulfill these rights.
Impacts of this program’s approaches on broader community and children in Nias Island in general can be seen from the following aspects:
Local policies that pay special attention to children who are exploited economically, children in conflict with the law and child victims of abuse.
1. Children whose rights are violated can easily get access to organizations that provide information and services.
2. Paradigm changes related to child treatments within family and community will more prioritize persuasive ways rather than intimidation or force

CLOSING
It is expected that KNH can use this project proposal to carefully consider the continuation of its supports for PKPA in Nias Island, North Sumatra, Indonesia

Medan, 4 February 2009
Best regards,
Misran Lubis (lubiscom@yahoo.com)

Supported By:

Pelatihan KESPRO Remaja Nias

Training of Trainer Pendidikan Sebaya Kesehatan Reproduksi Remaja di Nias

Anak harus hidup…
Anak harus hidup…


Tumbuh dan berkembang…
Tumbuh dan berkembang…
Mendapat perlindungan…
Didengar suaranya….
Masa remaja adalah periode yang sarat perubahan dan rentan terhadap masalah yang timbul, hal ini disebabkan karena pada usia remaja secara fisik dan psikis sangat dipengaruhi oleh dorongan yang muncul dari dalam diri sendiri maupun dari luar diri, seperti yang datang dari lingkungan sehingga dapat mempengaruhi fikiran dan tingkah laku remaja.
Kegiatan pelatihan Pendidik Sebaya (Peer Educator) Kesehatan Reproduksi Remaja yang diinisiasi oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Nias adalah sebagai salah satu cara untuk membekali remaja sehingga mendapat pengetahuan yang cukup agar tidak terjebak dalam situasi yang tidak baik. “Kami yakin bahwa pelatihan ini akan membawa awal yang baik pada seluruh peserta agar dapat membawa bekal untuk jadi pendidik yang baik kepada semua teman sebayanya.” Begitu kira-kira harapan dari Bapak Kemurnian Zebua, Kepala BP, PP, Pemdes Kota Gunungsitoli yang hari itu (14/04/11) membuka kegiatan pelatihan yang diadakan di Hotel Soliga selama 3 (tiga) hari, 14 April 2011 sampai 16 April 2011.
Pelatihan yang dilaksanakan selama 3 (tiga) hari ini disambut begitu antusias oleh para peserta yang datang dari berbagai sekolah seperti SMA Negeri 1, SMA Negeri 3, SMA Swasta Pembda 1 dan 2, SMA swasta BNKP, SMA Swasta Xaverius, Madrasah Aliyah Negeri Gunungsitoli, Madrasah Aliyah Swasta NU, serta komunitas anak dampingan PKPA-Nias, seperti Bale Ono Niha (BON) dan Komunitas anak Nusa Lima Gunungsitoli Idanoi. Artinya para peserta tidak hanya menjadi pendengar saja, namun mereka semuanya terlibat aktif dalam tanya jawab yang panjang dengan para fasilitator. Camelia sebagai fasilitator yang di datangkan dari Medan sangat kagum atas sikap antusias yang ditunjukkan oleh para peserta. “ternyata anak-anak Nias itu pintar-pintar dan kreatif, saya salut!” kata Camelia saat melihat peran serta anak-anak Nias dalam menerima materi yang disajikannya selama 3 (tiga) hari tersebut.
Aktifitas yang dilaksanakan pada hari pertama adalah pemberian beberapa materi yang diawali dengan materi Konvensi Hak Anak (KHA) sebagai perkenalan hak dasar anak, dilanjutkan dengan materi Pernikahan Dini (PD) agar para peserta tahu bahwa pernikahan yang dilakukan pada usia dini sangatlah rentan pada beberapa permasalahan baik secara biologis maupun secara sosial, artinya secara biologis adalah fungsi dari pada organ dalam wanita masih belum matang untuk hamil, dan secara sosial adalah hubungan antara suami istri yang belum cukup umur bisa berakibat pada perceraian dini dikarenakan faktor egois antara kedua belah pihak dan pihak perempuan selalu saja yang menjadi korban.
Materi selanjutnya adalah kesehatan reproduksi yang dilaksanakan pada malam hari tidak mengendorkan semangat anak-anak karena penyajian materi yang asyik dan selalu diselingi dengan permainan sehingga tidak membuat peserta bosan, malahan mereka semua terlibat aktif dalam perdebatan, baik dengan fasilitator maupun dengan peserta lainnya. Hal seperti inilah yang diharapkan dari setiap pelatihan, semangat yang selalu membara sehingga materi yang disajikan dapat ditangkap dengan baik.
Pada hari kedua, materi tentang Gender disampaikan oleh Fitri dari PKPA Nias, materi ini diharapkan sebagai penyadaran kepada para peserta bahwa yang membedakan antar laki-laki dan perempuan hanyalah jenis kelamin dan kodrat yang diberikan oleh Tuhan sedangkan dalam hal peran antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Materi selanjutnya adalah tentang Infeksi Menular Seksual (IMS), nah, di sesi ini para peserta terlihat begitu bergidik karena ditampilkannya beberapa slide yang berisi gambar tentang akibat dari terinfeksi virus, bakteri dan jamur dibagian kemaluan laki-laki dan perempuan serta anggota tubuh lainnya. Ekspresi mereka terlihat tegang dan merasa jijik melihat gambar tersebut. Yah, semoga saja dengan ekspresi tersebut mewakili ketakutan mereka untuk menjauhi pergaulan yang tidak sesuai dengan jalur seperti seks bebas, narkoba dan lainnya.
Hari ketiga, hari terakhir dari seluruh rangkaian aktifitas pelatihan. Para peserta dibekali dengan materi pendidik sebaya yang nantinya mereka akan mengimplementasikannya di sekolah masing-masing setelah keluar dari pelatihan. Pada sesi ini, peserta juga mempraktekkan menjadi pendidik sebaya dengan mengangkat isu sesuai dengan materi yang telah diterima dalam beberapa hari sebelumnya. Para peserta terlihat begitu akrab dan kompak, tampak sekali mereka enjoy dan telah menerima dengan baik materi yang diberikan sehingga hanya sekali saja fasilitator memberi arahan, mereka dengan aktif dan kreatif melaksanakannya.
Martin, siswa utusan dari SMA Negeri 1 mengatakan bahwa pelatihan ini sangatlah bermanfaat dan ingin sekali agar pelatihan ini tidak berhenti hanya 3 (tiga) hari saja, tetapi dilaksanakan selama seminggu full, sehingga materi yang disajikan bisa lebih banyak. Begitu pula dengan sisca, siswi utusan dari SMA Negeri 3, dia berharap agar pelatihan ini diteruskan lagi hingga beberapa hari ke depan supaya kekompakan dan kebersamaan mereka selama 3 (tiga) hari ini tidak cepat berhenti, dia sangat senang dan betah dengan teman-temannya yang baru dikenalnya beberapa hari ini.
Akhir dari kegiatan adalah, masing-masing peserta membuat rencana tindak lanjut (RTL) setelah keluar dari pelatihan ini di sekolah masing-masing. Hamedoni, sebagai ketua dari Bale Ono Niha berharap, setelah pelatihan, teman-teman peserta pelatihan bisa bergabung dengan organisasi anak yang dia pimpin sehingga kebersamaan tetap terjaga dan materi yang disampaikan bisa di bahas ulang sehingga ketika turun di lapangan, teman-teman telah menjadi pendidik sebaya yang sudah terlatih dan terampil. (Fitriani Hura).

Rabu, April 06, 2011

Controversy around Law Enforcement for Child Abuse in School


 (YEAR END NOTE 2010)

Introduction
Although child abuse in school had existed at all levels of education since long time ago, it was not until these last two years that parents and students in Nias Island began to report cases of child abuse in school to police. However, this caused controversy within Nias people. Even, abused children whose case was reported to police had to face the ‘dictatorship’ of school which expelled them from the school. Meanwhile, Board of Education very often closed their eyes and tended to ignore the abuse and dictatorship in school. Therefore, children’s fundamental right to high quality education was only a dream. 
It is a fact that the number of child abuse in Nias Island is very high. Various forms of abuses threaten children in the island.
The number of cases of child abuse increased from 42 cases in 2009 to 59 cases in 2010. Most of the victims were girls. They were victims of both sexual and physical abuses. Some of them caused disability and even death. Many of these cases occurred in school, at home and in orphanage which should be a safe place for children.

Child Abuse in School: Teaching or Torturing?
On Monday, 20 December 2010, the Head of Women’s and Children’s Protection Unit of the Resort Police of Nias officially requested PKPA-Nias to become an expert witness for a case of child abuse in school. The case started when one of parents reported a teacher in a senior high school in Gunung Sitoli to police after slapping his son on his cheek which caused a bruise. According to the victim-witness, he was slapped by his teacher after refusing his teacher’s allegation that he started the quarrel. Since the two boys who were involved in the fight blamed on each other, the teacher got angry and slapped them on their face. Then, his parent reported the case to police. In response to this, the school expelled the student from the school. This, of course, made the family got very angry and asked police to deal with the case.
Then, police handling the case invited two expert witnesses; one from Board of Education and the other one from PKPA to help them handle the case. According to the expert witness from Board of Education, what had been done by the teacher was not an abuse but guidance based on his or her authority. This is in line with Article 39 of Government Regulation No. 74 Year 2008 on Teachers stipulating that:
(1)   Teachers shall have freedom to give sanction to their students who violate religious, decency and politeness norms, written and non written regulation made by teachers, regulation at educational unit level, and laws and regulations during teaching process under his or her authority.
(2)   Sanction as referred to in Section (1) above shall be take the form of notice/or warning, orally or in writing, and educative punishment based on educational principle, code of ethics for teachers and laws and regulations.

Meanwhile, PKPA-Nias which was represented by Misran Lubis explained the followings to police:
1)      Government Regulation No. 74 Year 2008 on Teachers and other laws do not give teachers any authority to any physical abuse and other forms of abuse. Teachers and all people in educational institution had to fully understand Article 39 of Government Regulation No. 74 Year 2008 on Teachers. It clearly stipulates that “Sanction as referred to in Section (1) above shall be take the form of notice/or warning, orally or in writing, and educative punishment based on educational principle, code of ethics for teachers and laws and regulations.”
2)      Any action taken by teachers had to refer to other laws and regulations. It was clear that abuse perpetrated by teachers violated educational principle, code of ethics for teachers and laws. One of the examples is Law on Child Protection, especially Articles 54 and 80. 
a)         Article 54 of Law on Child Protection stipulates “Children attending school must be protected against violence and abuse from teachers, school managers, and schoolmates both in the schools and in other educational institutions.”
b)         Article 80 (1) of Law on Child Protection stipulates “Every person who commits an act of violence or threatens violence against, or tortures a child, shall be subject to a term of imprisonment of not more than three (3) years and six (6) months, and/or a maximum fine of seventy-two million rupiah (Rp 72,000,000).”

Since Article 80(1) of Law on Child Protection uses the words “Every person”, it means that the provision applies to all people, both personally or in group and corporation, without any exception. There is no provision or law that justifies abuse against anyone wherever he or she is, including in school.
In a nutshell, teachers in Indonesia must change their teaching method and paradigm. Abuse is not one of teaching methods. There are still many other methods that can be applied to pass educational messages to the future generation because abuse only will create grudge and another abuse. National agenda to create a child-friendly school is not merely a jargon but a model that can be used to build a peace-loving nation character. This approach will allow children to grow and develop optimally.

Closing
Government and relevant stakeholders need to take a concrete action to deal with complicated child issues in Nias Island through policy making and budget allocation to improve child protection, promote child-friendly school and raise public awareness of the rights of the child. Children’s fundamental rights to education, health, friendly environment, growth and development, participation in development, free of all forms of abuse and exploitation are not a gift but rights that adhere to them even before birth. Therefore, these rights must be respected and protected until they become an adult.

Best regards,

Misran Lubis and
PKPA-Nias Team

Senin, April 04, 2011

Menggagas konsep restorative Justice

Summary:
Menggagas konsep restorative Justice
bagi anak yang berkonflik dengan hukum di pulau Nias
( Kajian Cepat: Situasi Anak yang berhadapan dengan hukum di Pulau Nias-Tahun 2007)

A. PENDAHULUAN
Proses peradilan telah menyebabkan kerusakan psikologis terhadap anak-anak.

Mereka mengalami trauma dan stigmatisasi dalam sistem peradilan yang harus mereka lalui,” Anak dan keluarganya sering “cap negative”, bahkan ketika kasusnya dibatalkan karena terbukti tidak bersalah atau setelah bebas dari penjara tetap saja tidak ada rehabilitasi.
Dipulau Nias sendiri perlakuan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum masih jauh dari ketentuan yang disyaratkan dalam undang-undang peradilan anak maupun undang-undang perlindungan anak. Ditingkat kepolisian proses berjalan seperti kasus dewasa, pemeriksaan tidak dilakukan oleh polisi khusus anak dan belum memakai ruang pelayanan khusus, tidak ada penasehat hukum dan kalaupun ada penunjukan advokat sifatnya formalitas saja. Sementara untuk dikejaksaan dan pengadilan sudah ada penunjukkan Jaksa Anak dan Hakim Anak, namun fasilitas ruang tahanan masih belum dipisahkan dengan orang dewasa. Kondisi di lembaga pemasyarakatan lebih buruk lagi, tidak ada blok khusus anak, tidak ada fasilitas khusus untuk anak dan tidak ada pembinaan khusus untuk anak
Berdasarkan situasi diatas maka perlu dilakukan kajian dan analisis situasi anak yang berhadapan dengan hukum di Lembaga-lembaga formal seperti kepolisian, kejaksaan, peradilan, Lembaga Pemasyarakatan dan lembaga-lembaga nor formal dimasyarakat. Harapan dari kegiatan kajian dan analisis situasi ini agar adanya perubahan sistem peradilan dan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di Pulau Nias maupun di Indonesia secara keseluruhan. Proses Kajian dan analisis tersebut dilakukan oleh PKPA melalui sebuah kajian cepat yang dilakukan pada bulan Mei, tahun 2007.

B. Metodologi Kajian Cepat
B.1 Tujuan Kajian Cepat tersebut adalah:
1. Untuk mengetahui sistem penanganan dan pelayanan anak yang berkonflik dengan hukum di Pulau Nias pasca tsunami dan gempa bumi.
2. Untuk memperoleh konsep kearifan lokal penanganan masalah anak sebagai sumber inspirasi penerapan restorative justice bagi anak yang berkonflik dengan hukum.

B.2 Teknik Pengumpulan data
Teknik Pengumpula Data dan Informasi menggunakan beberapa cara yakni: a) Observasi terhadap situasi dan kondisi anak yang menjalani proses hukum di tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, tahanan dan masyarakat; b) Wawancara mendalam (indepth intervew) dengan pihak kepolisian, Kajari/Jaksa, Ketua PN/Hakim, Petugas lembaga pemasyarakat, anak sebagai pelaku dan korban, praktisi huku, keluarga dan masyarakat; c) Diskusi terfokus (FGD) dengan masyarakat, anak dan aparat penegak hukum untuk memperoleh masukan tentang upaya perlindungan yang harus dilakukan dan solusi terkait dengan anak yang berhadapan dengan hukum.
Informan yang dilibatkan dalam pengumpulan data lapangan berjumlah 39 orang, terdiri dari 18 informan anak dan 21 informan dewasa. Latar belakang informan sangat beragam, dari kalangan pemerintah, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, anak sekolah, anak di Lembaga pemasyarakatan dan anak yang telah bebas dari penjara.

C. TEMUAN KAJIAN CEPAT
Terungkapnya sejumlah kasus dan pelanggaran hak anak pasca tsunami dan gempa bumi tahun 2004 dan 2005 di Pulau Nias telah membuka wacana aktor kemanusiaan di Nias untuk melihat persoalan anak secara totalitas. Dampak langsung kejadian bencana alam terhadap anak ternyata hanya sebagian kecil dari kompleksitas masalah anak Nias.
Tahun 2006 sampai dengan 2007 kasus anak yang berkonflik dengan hukum secara kuantitas terus mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2005 kasus anak yang ditangani Kepolisian Nias berjumlah 27 kasus, pada tahun 2006 tercatat 72 kasus anak. Kasus-kasus tersebut tentunya bukanlah angka yang sebenarnya terjadi, karena banyak kasus yang dialami oleh anak-anak tidak sampai dilaporkan kepada kepolisian. Hampir 40 anak pada saat penelitian ini dilakukan menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan Gunung Sitoli baik yang berstatus tahanan maupun narapidana. Mereka tidak sepenuhnya tahu bahwa apa yang telah mereka lakukan dapat berujung dipenjara. Namun dibalik keluguan dan kecemasan akan nasib mereka, ternyata anak-anak tersebut menyimpan harapan menjadi anak yang berguna bagi bangsa dan keluarganya, hanya saja siapa yang peduli akan nasib mereka ?.
Hukuman penjara masih menjadi pilihan oleh para hakim di Pengadilan Negeri Gunung Sitoli dalam menjatuhkan vonis hukuman terhadap anak. Dari catatan kasus anak yang berhadapan dengan hukum tahun 2006-2007 tercatat 95% vonis hakim adalah pidana penjara. Dari 14 kasus yang diajukan ke pengadilan sepanjang tahun 2006-2007 tercatat 12 divonis hukuman penjara antara 1,8 bulan-5 tahun.
Permasalahan lain yang menjadi kendala utama dalam proses persidangan adalah kesiapan advokat yang benar-benar memperjuangkan nasib anak-anak tidak ada di Nias, Kehadiran Pembimbing Kemasyarakata (PK) dipersidangan selama ini juga masih sulit. Namun hal ini telah ada kebijakan dari Pengadilan Negeri Gunung Sitoli yakni melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Anak untuk menggantikan peran advokat maupun PK.

D. RESTORATIVE JUSTICE SEBUAH PILIHAN
Tuntutan adanya perubahan paradigma sistem peradilan anak di Indonesia, khususnya di Pulau Nias dan mencari alternatif hukuman selain pejara merupakan hal mutlak, melihat kondisi kehidupan di Lembaga Pemasyarakat yang belum menjamin adanya perbaikan perilaku dan martabat anak selama menjalani hukuman. Kepolisian Republik Indonesia telah mengeluarkan Telegram kepada jajaran kepolisian di Indonesia untuk menggunakan Kewenangan DISKRESI terhadap kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum dan mengedepankan azas kepentingan terbaik bagi anak. Surat tersebut telah dikeluarkan sejak tanggal 16 Nopember 2006. Namun kebijakan Kepolisian tiangkat pusat belum sepenuhnya direspon oleh jajaran kepolisian tingkat bawah.
Di Indonesia sendiri dikenal beberapa istilah untuk penyelesaikan persoalan-persoalan komunitas, seperti Islah, Rekonsiliasi dan Musyarawah. Beberapa pendekatan tersebut dapat dikembangkan menjadi media restorative justice. Khususnya di Pulau Nias sangat memungkinkan adanya gagasan baru pendekatan restorative justice yang berakar dari sumber daya dan kearifan lokal. Pendekatan tersebut dapat berbentuk family group conference (FGC) maupun menciptakan model bersama melalui koalisasi lintas sektor.
Sebelum terstrukturnya mekanisem restorative justice, telah digagas sejumlah model pembelajaran untuk memberikan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum. Beberapa bentuk pendekatan dan pembelajaran yang telah dimulai antara lain: 1) PKPA Membantu Peran Litmas, Karena minimnya petugas Pembimbing kemasyarkatan yang ada di Gunungsitoli-Nias, sementara Litmas merupakan perangkat dari sistem Peradilan anak selalu dibutuhkan untuk setiap persidangan anak, maka PKPA mengusulkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Gunungsitoli Kelas II B agar dapat bekerjasama sebagai Pembantu Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dalam hal pendampingan di persidangan dan dalam pembuatan Litmas. 2) Bersinergi dengan kearifan Lokal, Media musyawarah adat dimasyarakat tersebut dapat dijadikan sebagai bentuk perwujudan Restorative Justice. Namun tidak untuk semua kasus-kasus pidana pada anak terutama yang terkategori pidana berat.

E. REKOMENDASI
Pertama, Implementasi dari keberadaan UU Perlindungan Anak, UU Peradilan Anak dan UU Kesejahteraan Anak harus terintegrasi dalam kebijakan pemerintah di tingkat Kabupaten, demi terciptanya keseimbangan hak dan kebutuhan pembangunan sumber daya manusia secara merata dan berkualitas.
Kedua, Perlu kesadaran bersama untuk benar-benar melindungi hak anak (termasuk anak yang berkonflik dengan hukum) dari penganiayaan dan segala bentuk eksploitasi. Mereka memunyai hak akan kelangsungan hidup (survival rights), hak akan perlindungan (protection rights), hak untuk tumbuh dan berkembang (development rights) serta untuk berpartisipasi (participation rights) sebagaimana yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak.
Ketiga, Kepolisian ditingkat sektor (Polsek) dan Unit PPA-Polres, perlu diperkuat baik pemahaman aparat tentang hak-hak anak sehingga mampu menjadi mediator maupun promosi retorative justice maupun penguatan secara kelembagaan.
Keempat, membentuk layanan pengaduan dan perlindungan anak berbasis institusi sekolah juga dapat mendukung secara langsung penyelesaian kasus-kasus antar anak dan juga proses pemulihan yang paling mungkin tersedia di seluruh desa karena institusi sekolah telah merata disemua desa.

F. PENUTUP
Anak, bukanlah miniature orang dewasa, anak memiliki sifat dan keunikan tersendiri. Dalam kondisi apapun hak-hak anak tidak dapat diabaikan, termasuk anak yang berhadapan dengan hukum. Ketika Negara tidak dapat memenuhi fasilitas dan perangkat hukum untuk mewujudkan pemenuhan hak anak yang berkonflik dengan hukum, maka seharusnya negara tidak mengorbankan hak-hak anak.

KEKERASAN SEKSUAL MAKIN TINGGI

KEKERASAN SEKSUAL MAKIN TINGGI
(CATATAN AKHIR TAHUN PKPA NIAS 2010)
Oleh: Misran Lubis (Kordinator Divisi Litbang PKPA)

A. Kekerasan Terjadi di Mana-mana


Masih segar diingatan kita menjelang akhir tahun 2009 lalu atau mengawali tahun 2010, sebuah tragedi memilukan hilangnya nyawa anak-anak tak berdosa ditangan ibu kandungnya sendiri. Tepatnya tanggal 27 Desember 2009 tiga anak tewas dan dua lainnya dalam kondisi kritis di Rumah Sakit akibat penganiayaan yang dilakukan oleh Ibu Kandungnya. Meski kasus tersebut mendapat perhatian yang luar biasa dari banyak pihak baik media, politis daerah dan nasional namun kasus tersebut bukanlah yang terakhir. Kekerasan demi kekerasan terus saja mengancam anak-anak di Pulau Nias. Sepanjang tahun 2010 tercatat 59 kasus kekerasan terhadap anak, jumlah tersebut meningkat dari tahun 2009 yang berjumlah 42 kasus.

Kekerasan terbesar dialami oleh anak-anak perempuan, dalam bentuk kekerasan seksual (pelecehan/perkosaan/pencabulan) dan penganiayaan fisik yang berakibat kecatatan bahkan meninggal dunia. Yang lebih memprihatinkan lagi kekerasan tersebut banyak terjadi dilingkungan domestic seperti sekolah, rumah tangga dan institusi penampungan anak (panti asuhan) yang seyogianya menjadi ranah paling aman bagi anak.

Dipenghujung tahun 2010, kejadian memilukan kembali terjadi dua anak sekolah dasar di Kecamatan Lahewa Timur. Peristiwa penganiayaan itu terjadi pada tanggal 8 Desember 2010 ketika NZ (10) tahun dan WPZ (10) tahun sedang membeli jajanan pada saat jam istirahat sekolah. Ketika keduanya lewat didepan rumah pelaku bernama AZ (± 40 tahun), tiba-tiba menghadang kedua anak tersebut dengan sebuah kayu balok ditangannya. Dan tanpa basa-basi AZ memukul kepala NZ dengan kayu dibagian belakang kepala, akibat kerasnya pukulan tersebut NZ jatuh tersungkur dan tak sadarkan diri dengan kepala bersimbah darah. Pukulan kedua diarahkan dibagian wajah WPZ yang mengenai bagian rahang, menyebabkan beberapa gigi korban lepas dan rahang mengalami retak. Kedua anak tersebut harus menjalani perawatan intensif di ruang ICU Gunung Sitoli. Dokter sebanarnya menyarankan agar anak tersebut khususnya NZ yang mengalami luka sangat parah dibawa ke Rumah Sakit di Medan.

B. Catatan khusus 2010
Kontroversi Kekerasan Anak di Sekolah

Kekerasan disekolah memang telah lama berlangsung, namun di Nias mulai banyak dilaporkan orang tua peserta didik kepihak polisi pada akhir-akhir ini saja, setidaknya dalam 3 tahun terakhir sekitar 10 kasus kekerasan disekolah telah dilaporkan. Penanganan kasus kekerasan disekolah keranah hukum telah menimbulkan kontroversi dimasyarakat. Bahkan anak korban kekerasan yang mencari keadilan melalui jalur hukum harus menghadapi “kediktatoran” institusi sekolah yang dengan mudahnya mengeluarkan surat pemecatan anak dari sekolah tersebut. Instansi Dinas Pendidikan lebih sering menutup mata dan membiarkan kekerasan dan kediktatoran tumbuh subur disekolah-sekolah. Hak dasar anak atas pendidikan yang layak dan berkualitas hanyalah “mimpi” belaka.

Hari senin, 20 Desember 2010 lalu PKPA Nias diminta secara resmi oleh Kanit PPA Polres Nias untuk menjadi saksi ahli kasus kekerasan disekolah. Karena kasus-kasus Orang tua peserta didik salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Gunungsitoli melaporkan seorang oknum guru yang menampar bagian pipi anaknya hingga mengalami memar. Menurut keterangan saksi korban, ia ditampar karena membantah telah memulai terjadinya perkelahian antar pelajar yang melibatkan dirinya dengan pelajar lain disekolah tersebut. Seorang guru Pembimbing yang memeriksa kedua pelajar marah dan menampar anak karena sesame anak berdebat soal siapa yang memulai terjadinya perkelahian. Merasa tidak senang atas tindakan oknum guru tersebut, orang tua anak melaporkan peristiwa kekerasan tersebut ke Kepolisian Nias. Atas tindakan orang tua melaporkan guru ke Polisi, pihak sekolah mengeluarkan surat pemecatan kepada peserta didiknya. Pihak keluarga anak semakin marah dan meminta pihak kepolisian agar menuntaskan kasus tersebut.

Pihak kepolisian yang menangani kasus ini, mengundang saksi ahli dari instansi Dinas Pendidikan dan Lembaga PKPA. Kesaksian yang diberikan oleh staf Dinas pendidikan kepada Polisi menyebutkan bahwa tindakan oknum guru tidak termasuk kekerasan akan tetapi tindakan pembinaan sesuai kewenangan guru, didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008 tentang Guru.

PKPA Nias yang diwakili Misran Lubis mendapat giliran kedua untuk memberikan penjelasan kepada pihak kepolisian sebagai saksi ahli. Pernyataan PKPA untuk kesaksian tersebut adalah: “Terkait dengan kasus kekerasan terhadap anak disekolah yang dilakukan oleh oknum guru di Gunungsitoli, merupakan pelanggaran hak anak dan merupakan bentuk tindak pidana. Penjelasan terhadap bunyi pasal 80, ayat 1 UU Perlindungan Anak yang menyebutkan “Setiap Orang” maka ketentuan tersebut berlaku pada semua orang baik secara sendiri-sendiri, kelompok maupun korporasi tanpa pengecualian. Tidak ada aturan maupun perundang-undangan yang membenarkan adanya tindak kekerasan oleh siapapun dan dimanapun, termasuk dilingkungan sekolah”.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 tahun 2008 tentang Guru dan juga peraturan perundang-undangan lainya tidak ada sama sekali memberikan kewenangan kepada guru untuk melakukan tindakan fisik dalam bentuk kekerasan apapun. PP No.74 tahun 2008 terutama pasal 39 yang berbunyi:

(1) Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada dibawah kewenangannya.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.

Apapun tindakan yang akan dilakukan oleh guru harus mengacu ketentuan dan peraturan perundang-undangan lainnya. Guru tidak dapat menafikkan Undang-undang Perlindungan Anak, pasal 54 yang berbunyi:
“Anak didalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya didalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”.

Fathuddin Muchtar (PENELITI dan PENGAMAT PENDIDIKAN NASIONAL) Menyatakan: “Melihat realitas yang ada, maka mulai saat ini tindakan-tindakan kekerasan yang dibungkus dengan jargon “mendidik anak” harus dihentikan, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Kekerasan yang menimpa anak, apapun bentuknya sesungguhnya sangat merugikan anak, karena akan mempengaruhi pertumbuhan fisik, psikis dan dunia anak. Di samping itu tindakan kekerasan juga sebenarnya dilarang oleh undang-undang, sehingga siapapun yang melakukan tindak kekerasan kepada anak berhak melaporkannya kepada pihak yang berwajib sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang”.

Ungkapan senada juga disampaikan oleh Kak Seto Mulyadi (Ketua KOMNAS Perlindungan Anak) “Dengan alasan apapun seorang pendidik tidak dibolehkan memberikan hukuman dengan kekerasan kepada siswa. Hukuman, tidak harus diberikan dengan cara-cara yang mengandung kekerasan, tapi bisa dengan cara yang mendidik. “Seperti tidak memuji hasil kerjanya.” Kak Seto mengungkapkan, jika diberikan kesempatan untuk menghukum dengan kekerasan, maka kekerasan itu nantinya akan terus bertambah besar. “Jika siswa melawan saat dihukum, guru bisa terpancing emosinya dan terdorong untuk menghukum lebih keras,”
Pada intinya guru-guru di Indonesia harus mengubah metode dan paradigma tentang kekerasan sebagai salah satu cara mendidik. Masih banyak metode lain yang lebih damai untuk menyampaikan pesan-pesan pendidikan pada generasi bangsa, karena kekerasan hanya akan menyisakan dendam dan kekerasan baru. Agenda Nasional untuk menciptakan “Sekolah Ramah Anak” bukan hanya sekedar Jargon, akan tetapi sebuah model pendekatan pendidikan yang lebih baik untuk membangun karakter bangsa yang cinta damai. Pendekatan tersebut lebih memungkin untuk memberikan hak tumbuh-kembang anak secara optimal.

C. Anak Yang Berhadapan dengan Hukum

Situasi anak-anak lainnya yang penting untuk menjadi perhatian adalah munculnya stigma “residivis anak”. memang sangat disayangkan seorang anak yang harus berkali-kali keluar masuk penjara, seharusnya mereka bisa menikmati dunianya dibangku sekolah dan bermain dengan teman-teman sebaya. Sepanjang tahun 2010 tercatat 38 kasus anak yang harus berhadapan dengan hokum karena terlibat tindak pidana. Jumlah tersebut memang menurun dari catatan tahun 2009 yang berjumlah 46 kasus. Dari 38 kasus yang terjadi ditahun 2010, sebagian besar anak-anak terlibat dalam tindak pidana kekerasan dan pencurian.

Pertanyaannya benarkan mereka seorang residivis? Benarkan mereka penjahat? Atau apalah sebutan untuk para pelaku tindak pidana. Bagi masyarakat umum, memang sangat mudah untuk memberikan label bagi anak-anak tersebut dengan berbagai macam sebutan yang berkonotasi negative, misalnya anak nakal, bandal, tidak bisa diurus, dan masih banyak label-label negative lainnya.

Faktanya memang mereka melakukan tindak pidana, tapi bukankan anak-anak tersebut menjadi residivis karena kegagalan keluarga, kegagalan masyarakat dan kegagalan pemerintah menjalankan kewajibannya untuk memberikan yang terbaik bagi anak? barangkali semua komponen ini tidak bersedia untuk mengatakan kegagalan tersebut. Karena anak-anak ini harus bertahan hidup dengan caranya sendiri. Misalnya saja nasib seorang anak berinisal AL sudah menjadi “Langganan” di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sitoli. Meski usianya masih 13 tahun namun sudah 3 kali keluar masuk Lapas. Al sendiri tidak mengerti mengapa ia harus berkali-kali keluar masuk Lapas karena sejak kecil ia tidak pernah sekolah, tidak pernah tahu apakah yang dilakukannya menyalahi hukum atau tidak.

Masih banyak kisah-kisah anak seperti yang dialami AL, akibat ketidak pedulian keluarga, lingkungan sosial dan terlebih pemerintah sebagai pemegang mandat Undang-undang.

D. PENCAPAIAN KEGIATAN PKPA NIAS 2010
Tahun 2010 merupakan tahun ke-6 keberadaan PKPA di Pulau Nias, dimulai pasca tsunami dan gempa bumi tahun 2005. Selama keberadaan PKPA di Pulau Nias focus kegiatan hanya ditujukan untuk Perlindungan Anak. Ditahun 2010 kegiatan PKPA tujuan program PKPA adalah:
1) Pencegahan dan advokasi kebijakan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak khususnya di sektor penambang pasir dan nelayan perikanan.
2) Bantuan Hukum dan Rehabilitasi sosial bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan korban tindak kekerasan.
3) Membangun kesadaran masyarakat tentang Hak Anak dan penguatan organisasi anak

Pencapaian kegiatan selama tahun 2010 secara umum adalah:
1) Adanya kebijakan Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan terburuk untuk Anak di Kabupaten Nias Selatan, dalam bentuk:
a) Bupati Nias Selatan Mengesahkan pembentukan Komite Aksi Kabupaten Nias Selatan untuk Penghapusan Pekerja Anak.
b) Surat edaran ditujukan kepada semua pimpinan daerah, kecamatan, kepala desa, dan pelaku usaha di Kabupaten Nias Selatan. Isi dari surat edaran tersebut adalah:
• bahwa melarang segala kegiatan yang mengikut sertakan anak-anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak
• melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak-anak baik kekerasan fisik, psikis dan seksual
2) Memfasilitasi pendidikan kecakapan hidup anak-anak drop out melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di PKBM Sepakat, Kecamatan Gunungsitoli Idanoi dan SKB-Nias di kecamatan Gido. Penerima manfaat anak-anak perempuan usia 15-18 tahun sebanyak 30 orang.
3) Layanan Anak-anak Korban Kekerasan dan Anak Yang Berkonflik dengan Hukum. Penerima manfaat adalah Anak-anak dari keluarga miskin yang tidak memiliki kemampuan secara financial maupun sumberdaya dalam memperjuangkan keadilan dihadapan hukum. Kasus-kasus yang telah terdampingi oleh Unit Advokasi PKPA Nias ditahun 2010 sebanyak 47 kasus dengan perincian:
- Anak yang berkonflik dengan hukum : 27 Kasus
- Layanan dan pendampingan anak sebagai korban: 20 kasus
4) Memfasilitasi tersedianya Ruang Belajar dan Taman Bacaan bagi anak di Lembaga Pemasyarakatan (penjara anak) Gunung Sitoli. Penerima manfaat adalah Anak-anak yang menjalani tahanan maupun hukuman pidana di lembaga pemasyarakatan gunungsitoli.
5) Memfasilitasi kegiatan “Bale ono Niha” (Forum Anak Nias) perencana sosialisasi hak anak kepada komunitas anak di 8 desa dan meningkatkan partisipasi anak. Lebih dari 200 anak-anak telah bergabung dalam berbagai kegiatan organisasi anak, tersebar di Kota Gunung Sitoli dan Kabupaten Nias.
6) Sosialisasi konsep restorative justice dan perlindungan sosial anak di komunitas masyarakat sekitar Lembaga Pemasyarakatan. Peserta 30 orang dari unsure, Kepolisian, Pemerintah Kecamatan, Desa dan LSM
7) Pendidikan HAM Anak bagi Jurnalis dan Organisasi Masyarakat Sipil, Peserta 30 orang dari berbagai Media di Nias dan Organisasi Masyarakat Sipil.
8) Memfasilitasi Koalisi Perlinduangan Anak, Lembaga yang aktif mengikuti pertemuan reguler koalisi ini adalah, YEU/PRY, FORNIHA, Datafahea, BPWN, LSM Nias demo, Hagaini, PKPA dan P2TP2A Nias.
9) Program Khusus Scholarship, kegiatan yang dilakukan adalah Pemberian beasiswa melalui program orang tua asuh jarak jauh dan Menjalin hubungan anak-anak Nias dengan orang tua asuh di Italy. 25 anak dari kelurga miskin di komunitas pemukiman remiling dan Lasara, Gunungsitoli

E. PENUTUP
Pada dasarnya catatan situasi anak-anak Nias yang dimiliki oleh PKPA tidak hanya sebatas anak korban kekerasan dan anak yang behadapan dengan hukum. Masih ada sejumlah permasalahan anak yang menurut Undang-undang Perlindungan Anak dikategorikan sebagai situasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus, yaitu:
- Pekerja Anak, terutama bentuk pekerjaan yang membahayakan fisik, mental dan social anak seperti anak-anak penambang pasir dan batu cadas, anak-anak pekerja warung dan café hingga malam hari, anak jalanan/pemulung dan anak-anak yang terjebak dalam bisnis prostitusi.
- Perilaku Seksual Remaja, dikalangan pelajar terutama jenjang pendidikan SLTP dan SLTA dan peredaran video porno yang dilakukan antar remaja di Nias semakin marak.
- Anak-anak berkebutuhan Khusus atau anak-anak penyandang cacat yang jumlahnya di Pulau Nias mencapai 284 anak menurut data PRY. Namun anak-anak tersebut belum mendapatkan kebutuhan yang maksimal.
Menyikapi kompleksnya berbagai persoalan anak di kepulauan Nias, sudah seharusnya pemerintah dan stakeholders lain yang peduli akan nasib-nasib mereka melakukan langkah konkrit baik kebijakan maupun anggaran untuk meningkatkan perlindungan, pendidikan, kesehatan dan kesadaran masyarakat terhadap hak anak. Hak dasar anak untuk mendapat pendidikan, kesehatan, lingkungan yang ramah dan tumbuh-kembang secara optimal, berpatisipasi dalam pembangunan, bebas dari segala bentuk kekerasan, hak-hak itu bukanlah hadiah namun sesuatu yang melekat pada anak sejak masih dalam kandungan hingga mereka tumbuh menjadi manusia dewasa.

PKPA Nias, 27 Desember 2010

PENCEGAHAN TRAFFCIKING MELALUI SEKOLAH DI DAERAH SENDING


Penghapusan Traffciking Anak  tidak cukup hanya dengan melakukan tindakan-tindakan kuratif  atau penanganan kasus-kasus yang telah terjadi. Kegiatan Pencegahan merupakan langkah strategis untuk meminilisir munculnya kasus-kasus baru. Jaringan Sindikat Traffciking tidak akan pernah berhenti mengembangkan modus-modus baru untuk mencari sasaran anak yang akan dijadikan korban trafficking.  Situasi dan kondisi kerentanan yang dihadapi anak-anak menjadi peluang besar para sindikat untuk menjebak mereka, kini jaringan trafficking anak khususnya untuk bisnis prostitusi telah merambah ke sekolah-sekolah. Mereka tidak hanya menunggu di Mall, Pusat-pusat Hiburan Malam atau CafĂ©-CafĂ©, namun sindikat telah menyusup ke dalam lingkungan sekolah.

Setelah sukses melakukan kampanye trafficking melalui penampilan Teater di lima Kota di Sumatera Utara pada tahun 2010 lalu. Kini PKPA bekerjasama dengan ILO-Ipec melakukan pencegahan trafficking ke Sekolah-sekolah yang ada di Kecamatan Labuhan Deli. Dipilihnya kecamatan tersebut karena terdata menjadi salah satu kecamatan di Sumatera Utara yang menjadi daerah pengirim (Sending Area). Metode pencegahannya pun berbeda dengan yang sebelumnya, kali ini PKPA melakukan pencegahan menggunakan Modul 3-R Kits (Right, Responsibilities & Representation/Hak, Tanggung Jawab dan Perwakilan).

Strategi pencegahan melalui training kecakapan hidup menggunakan modul 3-R kepada anak-anak dilakukan oleh para guru sebagai fasilitator. Sebelum guru-guru tersebut diterjunkan dimasing-masing sekolah untuk membentuk group belajar, terlebih dahulu diberikan pelatihan oleh PKPA selama 3 hari mulai tanggal 4 s/d 7 Oktober 2010, di Gedung BP-PNFI, Medan. Modul 3-R Trainers’ Kits sebagai sarana pelatihan interaktif untuk digunakan di lingkungan masyarakat yang memiliki anak-anak, remaja dan keluarga, terutama mereka yang rentan terhadap masalah perburuhan anak dan perdagangan anak-anak dan perempuan untuk eksploitasi seksual atau perburuhan.

Program pencegahan yang telah dimulai sejak November 2010 lalu, hingga akhir Maret 2011 ini telah melatih 320 anak tingkat SMP dan SMA yang ada di kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang. Program akan berakhir pada bulan Juni 2011 dan ditargetkan minimal 550 anak dengan perbandingan 80% Perempuan, 20% laki-laki dapat dicegah dari Traffciking Anak. Beberapa Sekolah telah menjalankan program ini dan sebagiannya sedang berjalan kegiatan hingga bulan Mei 2011. Sekolah-sekolah tersebut antara lain; SMP 2 Labuhan Deli, SMA I, Yayasan PAB dan Sekolah Pangeran Antasari.

Hasil evaluasi sementara dengan para guru dan siswa, pelatihan dengan modul 3-R ini sangat menarik, interaktif dan memberikan informasi yang sangat bermanfaat sekali bagi masyarakat terutama anak-anak agar bisa menghindari sindikat trafficking dan sindikat prostitusi anak.  Semoga Pemerintah Daerah, khususnya Dinas Pendidikan dapat mendukung keberlanjutan kegiatan pencegahan ini dan mengadopsinya untuk pencegahan disekolah-sekolah lain terutama di daerah-daerah yang rentan trafficking. (Misran Lubis/PKPA)